Mengenang Abangku: Milala S Meliala

Milala Sembiring Meliala

Rabu pagi, 23 Januari 2021 di sudut kota Medan. Matarahi masih belum memancarkan sinar terang. Kabut tebal menghalangi pandanganku ke luar jendela. Rasa malas menyelimuti tubuh membuatku bergeming dari tempat tidur. Mata yang masih terasa berat dibuka, perlahan mulai terpejam lagi. Mau kusambung mimpi indahku yang tadi terputus.


Tiba-tiba telepon selulerku berbunyi nyaring, “Ada apa Bang Milala telpon pagi buta gini?” tanyaku dalam hati melihat nama Milala Sembiring Meliala muncul berkedip kedip di layar monitor Samsung A5 butut di sudut atas tempat tidurku.


“Eh, udah bangun Kam? Jangan tidur melulu. Pantas aja kita jadi korban kezaliman kalau bangun pagi aja ga bisa … “ kata Bang Milala mencerocos kayak kereta api cepat Kuala Stasiun Kota – Bandara Kuala Namu.


“Udah bangun kok Bang, dari tadi pun. Ada apa Bang? Ga tiap hari Abang telpon pagi-pagi?” tanyaku yang penasaran mendengar nada bersemangat dalam suara Bang Milala dari ujung sana.


“Udah laku ruko itu. Pagi ini katanya mau ditransfer uangnya. Kalau uang udah masuk, tak ada lagi alasan kita tidak bisa desak penyidik tangkap cepat si Jantoni sama si Senang pengkhianat itu. Malu kita, tak ada martabat kita di mata orang Kabanjahe kalau orang lain seenaknya aja bikin akta palsu untuk merampok warisan Bapak,” jawab Bang Milala mengompori aku, adiknya yang paling dekat dengannya.


Mendengar jawaban Bang Milala, langsung ingatanku segar kembali kayak nyala neon 1000 watt lampu pinggir jalan. Jantoni yang dimaksud Bang Milala adalah Jantoni Tarigan, notaris di Kabanjahe yang sudah nyata-nyata memalsukan akta wasiat Bapak kami almarhum Kapiten Sembiring Meliala, tapi masih bebas keluyuran kemana-mana sampai hari ini. Entah apa sebabnya polisi Tanah Karo yang menyidik laporan pengaduan Bang Milala dan Kak Susanna tidak berani menetapkan oknum notaris brengsek itu menjadikannya tersangka dan cepat ditahan. Jantoni seolah-olah kebal hukum. Kalau ketemu papasan di jalan, kadang dia tersenyum mengejek.


“Jantoni merasa aman mungkin karena dia dibeking sama Santosa kakak kita sendiri. Dia sekarang makin sering ngoceh kemana-mana, bilang ke orang-orang, kalau akta wasiat palsu itu yang buat adalah Santosa. Jantoni hanya dipinjam namanya” kata Bang Milala suatu hari pada akhir Desember tahun lalu.


Santosa yang dikeluhkan Bang Milala adalah Makmur Sentosa Sembiring Meliala. Salah satu dari lima anak laki-laki almarhum Kapiten Sembiring Meliala. Kami memang keluarga besar. Bapak menikah dengan tiga istri yang memberikannya enam anak laki, enam anak perempuan.


Sebagai Saudagar emas terkenal di Kabanjahe, keluarga kami hidup berkecukupan dan harmonis. Baru belakangan ini sejak Bapak meninggal, masing-masing anggota keluarga terlihat wujud aslinya.


Selama dua tahun terakhir Bang Milala disibukkan dengan aktivitasnya menuntut penegakkan hukum kepada Polres Tanah Karo. Sejak diketahui adanya pemalsuan akta wasiat Bapak yang digunakan kakak kami Rehulina dan Makmur Sentosa untuk menguasai sendiri seluruh warisan Bapak terutama simpanan emas Bapak yang ratusan kilogram banyaknya.


Makmur Sentosa Sembiring Meilala satu-satunya dari keluarga kami yang mengerti hukum. Dia sarjana hukum dan notaris, meski lebih banyak mengurus Bank Perkreditan Rakyat Milala miliknya yang berada di Medan, sekitar 50 kilometer dari Kabanjahe.


Mulanya aku tidak percaya ketika Bang Milala mengungkap keterlibatan Bang Makmur Sentosa sebagai otak pemalsuan akta wasiat Bapak. Apalagi disebut-sebut maksud hatinya untuk menguasai simpanan emas modal usaha Bapak.

Rasa tak percaya menjadi amarah waktu Ibuku mengaku bahwa Bang Sentosalah yang secara paksa mengambil sertifikat tanah di mana Toko Emas Milala berdiri megah di atasnya.


“Betul, Abangmu si Santosa yang mengambil sertifikat tanah itu dan entah kenapa diserahkannya kepada si Rehulina” jawab Ibuku saat kuteruskan informasi dari Bang Milala mengenai kejahatan si Santosa.

“Hey, kok diam aja Kam? Masih hidupkah Kam?” teriak suara Bang Milala dari dalam hanphone membuyarkan lamunanku.


“Masih Bang. Trus apa cerita?” aku balas bertanya.


“Pokoknya, perkara kita harus cepat selesai. Aku mau penjahat-penjahat itu ditangkap dan seluruh harta Bapak yang digelapkan mereka dikembalikan kepada kita semua. Sudah kuniatkan dari awal, uang jual ruko ini semuanya untuk bantu penuntasan perkara. Kita perlu ketemu bahas rencana. Feeling-ku sebentar lagi urusan ini beres” kata Bang Milala seperti biasa, semangat berapi-api.


Sontak pagi yang dingin mendadak jadi panas kayak matahari jam 12 siang. Kusambut antusias ajakan Bang Milala. “Siap Bang, atur aja. I am ready !”


Percakapanku dengan Bang Milala pada hari Rabu pagi 23 Januari 2021 itu ternyata jadi kenangan terakhir. Takkan ku dengar lagi gemuruh suara bersemangat tak kenal menyerah dari Bang Milala.

Tiga hari setelahnya, pada hari Sabtu 26 Januari 2021 Bang Milala ditemukan tewas di dalam kamar tidur, di rumah toko (ruko) yang sering ditempatinya bila tak sempat pulang ke rumah karena terlalu sibuk.

Dari mulutnya terlihat buih berbusa mengalir keluar, sekujur tubuh di penuhi bercak biru. Aku merasakan Bang Milala sangat menderita kesakitan menjelang ajal.


“Ya, Allah. Siapa tega berbuat begini pada Abangku” batinku menjerit tak menerima.

Tak sedikit pun keraguan di hati, Bang Milala telah jadi korban pembunuhan. Dia tidak punya musuh. Tapi pasti ada orang yang sangat benci dan takut sama sepak terjangnya dalam mendesak penuntasan perkara pemalsuan akta wasiat dan penggelapan harta almarhum Bapak kami.

Semakin dekat penuntasan perkara yang dilaporkan Bang Milala kepada Polres Tanah Karo, semakin banyak yang merasa terancam diseret ke penjara. Bang Milala bersama Kak Susanna melaporkan pemalsuan akta wasiat ke Polres Tanah Karo 21 Maret 2019 lalu. Meski sudah dua tahun dilaporkan, notaris Jantoni Tarigan pelaku pemalsuan akta wasiat, Rehulina pengguna akta palsu dan penggelapan warisan almarhum Bapak, tidak kunjung ditangkap polisi. P


“Selamat jalan abangku. Semoga kau bahagia bersama Bapak di sana. Aku tak rela kematianmu sia-sia. Sampai kapan pun akan ku cari orang yang berbuat keji padamu”, Sumpahku dalam hati.


Tak terasa mataku berlinang perlahan- lahan turun membasahi pipi.

Kabanjahe, Tanah Karo

PT. Permata Sakti Mandiri Pengembang Cimanggis City Dipolisikan

Lahan Bakal Apartemen Cimanggis City Terbengkalai

Perusahaan pengembang Apartemen Cimanggis City PT Permata Sakti Mandiri (PMS) dilaporkan kepada Kepolisian Metro Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) atas dugaan tindak pidana penipuan dan pemalsuan terhadap konsumen pemesan/pembeli unit apartemen.


Pengaduan dugaan tindak pidana PT. Permata Sakti Mandiri itu dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh salah seorang konsumen pada hari Rabu (2/9) langsung ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.


Atas laporan konsumen yang merasa dirugikan itu Polda Metro Jaya telah menerbitkan Laporan Surat Bukti Lapor Nomor LP/5240/IX/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ tertanggal 02 September 2020.
“Di samping PT. Permata Sakti Mandiri selaku pengembang dan penjual apartemen Cimanggis City, kami juga melaporkan dugaan pidana oleh perusahaan asuransi PT. Asuransi Jasindo dan Bank BTN karena diduga terlibat bersama-sama PSM dalam melakukan tindak pidana merugikan orang lain dalam hal ini konsumen/pembeli unit apartemen Cimanggis City,” papar M Taufik SH, advokat kuasa hukum yang mendampingi pelapor di Polda Metro Jaya, usai selesai melapor ke SPKT Rabu 2 September 2020.


Kuasa hukum Pelapor M Taufik SH mengatakan sejak tahun 2019 kliennya telah menyetorkan uang sebanyak Rp 300 juta melalui fasilitas Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) dari Bank BTN untuk membeli satu unit apartemen Cimanggis City di MekarJaya, Sukmajaya, Depok.

Selain diwajibkan terus membayar angsuran kredit, kliennya juga harus membayar asuransi kebakaran dan asuransi jiwa oleh Bank BTN. “Anehnya Bank BTN mewajibkan debitur menjadi peserta dan membayar premi asuransi kebakaran atas unit apartemen yang tidak ada wujudnya. Demikian juga PT Asuransi Jasindo menerbitkan sertifikat asuransi kebakaran atas apartemen yang tidak ada. Polis asuransi kebakaran sampai hari ini tidak diterima oleh klien kami. Ini benar-benar penipuan dan harus ditindak tegas oleh pihak berwenang dan pemerintah”, tegas M Taufik.


Sebelum melaporkan dugaan penipuan dan pemalsuan ini, M Taufik mengatakan pihaknya sudah mencari informasi lengkap seputar proyek pembangunan Apartemen Cimanggis City, termasuk melakukan peninjauan langsung ke lokasi proyek di Mekar Jaya, Depok. Hasilnya ternyata sangat berbeda dengan pemberitaan media yang gembar gembor menyebarkan perkembangan pembangunan Apartemen Cimanggis City.


“Proyek apartemen yang katanya sudah dibangun sejak April 2017, ternyata sampai akhir Agustus 2020 tidak tampak sedikit pun hasilnya. Hanya tanah lahan kosong diselimuti semak belukar dan satu unit alat berat rongsokan mangkrak di lokasi Proyek Apartemen City, Depok”, lanjut Taufik geram. Menurut Taufik, masih ada ribuan orang konsumen Cimanggis City yang kemungkinan besar telah menjadi korban penipuan.
“Dari sejak dibeli, sampai saat ini tidak ada dibangun. Sama sekali tidak ada pembangunan,” kata Taufik di Mapolda Metro Jaya, Jl. Gatot Subroto, Rabu (2/9/20/).

Ribuan Konsumen Korban Penipuan Pengembang
Berdasarkan penelusuran di media massa, pada Juli 2020 lalu puluhan konsumen pembeli unit Apartemen Cimanggis City ramai-ramai mendatangi kantor pemasaran PT. Permata Sakti Mandiri di Jalan Raya Bogor KM 30, Mekarsari-Cimanggis, Depok guna menuntut kejelasan mengenai nasib unit apartemen yang sudah mereka beli dan uang ratusan juta rupiah per konsumen yang sudah terlanjur diserahkan ke pengembang. Di antara mereka ada sudah menjadi pembeli sejak April 2017. Mereka semua kini menuntut tanggungjawab PT. Permata Sakti Mandiri karena tidak menepati janji.


“Tiga puluh enam bulan katanya akan selesai. Sekarang sudah lebih 40 bulan tapi jangan kan unit apartemen, tanda-tanda aktivitas proyek pun tak kelihatan,” keluh Julia (39 thn) warga Depok, salah satu konsumen Cimanggis City yang merasa telah ditipu pengembang.

Menurut Taufik, pihak pengembang telah menjanjikan bahwa apartemen akan rampung dan dilakukan serah-terima pada tahun 2020. Namun, sampai saat waktu yang telah ditentukan tidak terrelisasi. Bahkan, hingga saat ini bangunan apartemen yang dijanjikan itu tak kunjung nampak. Dia pun berharap agar pembangunan apartemen itu sungguh-sungguh dilakukan. “Sampai sekarang bentuknya itu masih tanah ditumbuhi semak belukar,” ujar Taufik.


Di sisi lain, calon pembeli pernah mendatangi dan melakukan pertemuan, Namun di lokasi pertemuan, manajemen hanya diwakili oleh bagian legal, yang menyampaikan bahwa dirinya hanya bersifat menampung aspirasi konsumen.
Pelapor mengatakan bahwa dirinya sudah beberapa kali bertemu dengan perwakilan Cimanggis City, namun jawaban mereka sama, yakni hanya ditampung saja.


Taufik menuturkan, kliennya sudah tidak dapat mentoleransi hal itu. Sebab, kliennya telah merasa kehilangan kepercayaan dan meminta kasus ini diusut melalui jalur hukum.


“Jadi ini sudah menzalimi konsumen, menzalimi pembeli,” imbuh Taufik sambil berharap Polda Metro Jaya bertindak cepat sebelum kerugian masyarakat semakin besar.

Jodi Haryanto Mafia Investasi Buron 10 Tahun Tak Mampu (Mau) Ditangkap Aparat

Bahwa pada tanggal 29 Mei 2008, kami telah mengirimkan surat pengaduan No. Ref. 1171/DIR/EPS/05/08 yang ditujukan ke Ketua Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga Keuangan (Bapepam & LK) mengenai Indikasi Kuat Tindak Pidana Penggelapan Dana dan Perubahan Direksi PT Eurocapital Peregrine Securities (EPS). Dalam surat terebut kami melaporkan indikasi sangat kuat terjadinya tindak pidana penggelapan […]

Jodi Haryanto Mafia Investasi Buron 10 Tahun Tak Mampu (Mau) Ditangkap Aparat

SBY Tokoh Utama di Balik Pemilu Brutal

Dari Singapura mantan Presiden SBY melempar gagasan untuk segera membuka ruang dialog antara kubu kontestan Pilpres 2019 guna meredakan polarisasi di antara masyarakat Indonesia, meluruhkan ketegangan, mengatasi perbedaan pendapat dan pandangan pasca pelaksanaan pemilu 17 April 2019.

 

Gagasan SBY ini sepintas lalu terkesan arif bijaksana. Namun, jika ditelaah lebih dalam dan cermat, gagasan SBY terasa aneh, tidak substansial, melenceng jauh dari fakta sebenarnya terkait akar masalah.
Polarisasi tajam masyarakat di masyarakat pasca pemilu memang benar terjadi dan tidak mengejutkan semua pihak. Fakta bahwa di seluruh daerah pemilihan (dapil) mayoritas pemilih Islam (muslim) paslon Prabowo – Sandiaga Uno meraih kemenangan. Sebaliknya, di dapil mayoritas pemilih non muslim paslon Jokowi – Maruf menang. Di TPS pecinan (kompleks hunian tionghoa) Jokowi pasti mengalahkan Prabowo secara telak. Diduga 95% pemilih tionghoa memilih Jokowi pada Pilpres 2019, sama seperti pilpres 2014.
Polarisasi tajam di tengah masyarakat Indonesia karena perbedaan pilihan kandidat pilpres adalah konsekwensi dari perilaku dan kebijakan rezim Jokowi.
Sikap diskriminasi pemerintah Jokowi terhadap Islam, fitnah dan penzaaliman terhadap ulama dan ormas Islam, penyebaran hoax , tudingan dan stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam Indonesia terjadi sejak awal Jokowi menjabat Gubernur Jakarta, makin intens selama menjabat presiden.
Penindasan terhadap Islam dan sebaliknya pembelaan vulgar dan demonstratif kepada non muslim khususnya tionghoa, membentuk polarisasi tajam di kalangan masyarakat Indonesia, setelah sebelumnya selama lima tahun di bawah pemerintahan Jokowi, rakyat Indonesia diadudomba, dipecahbelah, dihasut, diobok-obok oleh pemerintah Jokowi.
Umat Islam Indonesia merasa tidak ada manfaat kepemimpinan Jokowi, sebaliknya kedamaian, ketenangan, rasa aman dan kesempatan berusaha yang sebelumnya dinikmati, mendadak hilang selama era Jokowi. Hanya sebagian kelompok Islam seperti NU yang merasa diuntungkan oleh rezim Jokowi.
Kepemimpinan Jokowi menempatkan pribumi terutama umat Islam Indonesia berada pada posisi terbawah dalam strata sosial politik dan ekonomi Indonesia: Posisi yang pernah dialami umat Islam Indonesia pada masa kolonial Belanda, Era Orde Lama dan pada 20 tahun pertama era Orde Baru. Wajar jika timbul penolakan keras rakyat Indonesia terutama umat Islam terhadap Jokowi.

Perbedaan Pendapat Vs Pemilu Curang

Ajakan Ketum Partai Demokrat SBY agar kedua kubu membuka ruang dialog disambut dingin masyarakat luas terutama oleh kubu Prabowo. Ajakan SBY ini terasa seperti meminta kesediaan polisi berdialog dengan penjahat atau pemilik rumah diminta menjamu penjarah. Pemahaman rakyat dan kubu Prabowo mengenai permasalahan pasca pemilu berbeda – untuk tidak menyebutnya bertolak belakang, dengan pemahaman SBY yang di luar akal sehat.

Reaksi rakyat dan kubu Prabowo terhadap kencurangan pemilu bukanlah suatu perbedaan pendapat atau pandangan. Sikap yang ditunjukan rakyat terutama kubu Prabowo adalah protes, kritik, tuntutan, kecaman hingga permintaan kepada KPU untuk bersikap independen, jujur dan adil dengan memperbaiki kekeliruan – diduga unsur kesengajaan, mencegah pencurangan terus terjadi hingga desakan penghentian Situng, tuntutan proses hukum terhadap pelaku pencurangan pemilu dan audit terhadap KPU.

Jika KPU kemudian berkilah semua kesalahan fatal itu hanya human error (kesalahan manusia), SBY tidak bisa langsung menyederhanakan permasalahan dengan menyebutnya sebagai perbedaan pendapat atau beda pandagangan. Ini kejahatan serius terhadap pemilu dan ancaman terhadap demokrasi Indonesia.

Perilaku Presiden Jokowi yang terus menerus menyebarkan hoax kemenangan pilpres, pemberitaan mayoritas media mainstream yang selalu mengutip data Situng sekali pun sudah diketahui banyak kekeliruan dan upaya pelemahan – memecahbelah kubu Prabowo dengan iming-iming tawaran kursi menteri kabinet, dinilai rakyat dan kubu Prabowo sebagai tidak ada itikad baik dari Presiden Jokowi untuk mencari solusi kecurangan pilpres yang memang menguntungkan posisi politik Jokowi.

 

Posisi Politik SBY
Pernyataan SBY yang menganjurkan ruang dialog ketimbang pembenahan terhadap berbagai kecurangan pemilu yang merugikan palson Prabowo – Sandi, menguatkan dugaan bahwa posisi politik SBY dan Partai Demokrat (PD) sejatinya tidak bersama koalisi Prabowo. Keberadaan SBY dan PD di koalisi Prabowo hanyalah secara formal. Secara faktual SBY – PD mendukung Jokowi – Maruf meski pun tidak bersama koalisi partai pengusung Jokowi.
Penilaian mengenai posisi politik SBY dan PD pada pilpres 2019 yang diam-diam mendukung Jokowi – Maruf, tidak semata-mata didasarkan pada anjurannya kepada dua kubu untuk berdialog, melainkan dari manuver politik yang dilakukan SBY baik yang terlihat publik mau pun yang terjadi di balik layar.
Pada 2014, SBY mendorong besannya sendiri Hatta Rajasa untuk maju sebagai cawapres pendamping Prabowo. Tampilnya Hatta terbukti kemudian hanya sebagai kedok dan tirai penutup maksud SBY sebenarnya yakni memastikan kemenangan Jokowi dari belakang publik. Prabowo – Hatta kalah tipis di pilpres 2014 dari Jokowi.
Banyak terjadi kecurangan, namun semua kandas di MK yang majelis hakimnya merupakan orang-orang SBY dan PDIP. Pada pilpres 2014 SBY sukses besar mengecoh publik dan mengkhianati Prabowo – Hatta.
Hadiah kemenangan besar SBY menempatkan Jokowi sebagai Presiden RI 2014 – 2019 mengantarkan SBY tetap bertahan menjadi penguasa Indonesia di balik rezim Jokowi. Tanpa disadari rakyat, kabinet Jokowi didominasi orang-orang kepercayan SBY. Sebut saja misalnya Menko Ekonomi Darmin Nasution, Menkeu Sri Mulyani, Menlu Retno, Menkes Nila, sampai Kepala BNPT dan BNPB. Di luar pemerintahan, orang kepercayaan SBY menduduki pos Gubernur BI, Ketua OJK dan Ketua KPK. Tak heran banyak kalangan menjuluki rezim Jokowi sebagai rezim SBY jilid III.

Dominannya pengaruh SBY di pemerintahan dan di luar pemerintahan pada masa Jokowi ini, tidak mungkin dia peroleh jika Prabowo Hatta yang menang pilpres 2014. Sekali lagi, fakta ini membuktikan kehebatan SBY berpolitik jauh di atas para elit politik Indonesia.

Ambisi SBY adalah AHY Presiden 2024
Setelah mengetahui posisi politik SBY yang sebenarnya, publik menjadi paham mengapa sambutan dingin sebagai balasan dari ajakan berdialog yang dilontarkan SBY dari Singapura.
Publik akan semakin paham maksud dan tujuan SBY yang sebenarnya di balik ajakan berdialog itu, yakni menjerumuskan Prabowo kembali ke kekalahan pilpres seperti 2014. Keinginan kuat SBY mewujudkan kemenangan Jokowi sejalan dengan ambisi SBY menempatkan Agus Yudhohono (AHY) putra sulungnya sebagai presiden pada pilpres 2024 mendatang. Kemenangan Jokowi – Maruf berarti kelangsungan kekuasaan SBY di balik layar dan menutup peluang kandidat lain dapat memenangkan pilpres 2024 melawan AHY.
Pada 2024 nanti Jokowi sudah dua periode, Maruf Amin sudah sangat sepuh (83 tahun) dan tidak ada bakal capres yang lebih siap segalanya dibanding AHY. Beda halnya jika Prabowo menang pilpres. Meski Prabowo misalkan tidak berniat maju di pilpres 2024, pasti beliau menyiapkan suksesornya.
Belum lagi peluang Sandiaga Uno selalu wapres yang maju menjadi capres 2024, akan memiliki kans terbesar menang pilpres. Itu artinya kiamat bagi ambisi politik SBY.
Uraian singkat ini dapat menjadi tambahan bahan analisa dan pemikiran publik bahwa fenomena banyaknya kecurangan pemilu yang semua menguntungkan suara Jokowi, tidak terlepas dari peran besar SBY atau setidak-tidaknya ada keterlibatan SBY.

Terkait pencurangan masif pemilu, yang dibutuhkan rakyat adalah proses hukum terhadap para pelaku kecurangan dan kejahatan pemilu serta perbaikan hasil pilpres yang dapat menjamin tegaknya kedaulatan rakyat, bukan ajakan berdialog dari SBY yang arah dan tujuannya sudah dapat diprediksi, yakni mengamankan segala kecurangan demi memenangkan Jokowi di Pilpres 2019.

 

Primus Inter Pares
Di antara banyak tokoh yang berjasa besar atas terpilihnya Jokowi sebagai presiden melalui Pilpres 2014, SBY adalah tokoh paling berjasa dan paling penting peranannya dalam mengantarkan Jokowi menjadi Presiden RI 2014-2019. Tak dapat disangkal kesuksesan Presiden SBY saat itu harus mengorbankan Hatta Rajasa besannya sendiri yang menjadi cawapres pendamping Prabowo.
Secara politis, SBY dapat berkilah bahwa dia tidak pernah mengkhianati Prabowo – Hatta pada 2014 karena secara resmi baik SBY maupun Partai Demokrat tidak menjadi partai pengusung atau pendukung Prabowo. Mengenai persepsi publik atau anggapan banyak orang bahwa SBY – Demokrat adalah pendukung Prabowo – Hatta atas dasar keterlibatan banyak kader PD di Koalisi Merah Putih (KMP) atau isyarat-isyarat politik yang ditunjukan SBY di depan publik, bagi SBY hal di luar kuasanya. Namun, secara moral dukungan luar biasa dari SBY selaku presiden dalam memenangkan Jokowi (secara diam-diam) pada 2014 adalah pengkhianatan besar terhadap Prabowo-Hatta.

Sebagai kontributor keberhasilan Jokowi menjadi presiden 2014-2019, posisi SBY di antara tokoh yang berada di ring satu Jokowi menjadi istimewa di banding yang lain. Sudah jadi rahasia publik bahwa sosok Jenderal Purn Hendropriono diyakini sebagai tokoh pertama yang menemukan, merekrut Jokowi pada tahun 2006 saat Jokowi baru menjabat sebagai Walikota Surakarta. Di samping itu ada sosok Jenderal Luhut Binsar Panjaitan sebagai mentor utama Jokowi dan penyandang dana di masa awal pembentukan citra dan penggenjotan popularitas Jokowi 2007-2011. Di antara Hendropriono dan LB Panjaitan, SBY dapat disebut sebagai Primus Inter Pares (tokoh utama di antara yang sederajat), sebuah posisi yang memungkinkan SBY mendapat lebih besar konsesi politik dari Presiden Jokowi ketimbang Hendropriono dan LB Panjaitan.

 

Pertaruhan Politik SBY – AHY 2024
Dalam rangka mewujudkan rencana SBY menempatkan AHY sebagai Presiden 2024-2029, pilihan terbaik SBY adalah dengan mendukung penuh Jokowi – Maruf di Pilpres 2019. Mengenai strategi SBY yang secara resmi menyatakan mendukung Prabowo-Sandiaga Uno itu adalah masalah bagi Prabowo dan koalisi partai pengusungnya (PKS – PAN – Gerindra): untuk memastikan apakah dukungan SBY – Demokrat tulus atau brutus.
Mengingat rekam jejak SBY yang selalu mengkhianati Prabowo sejak 1998 dan terakhir di Pilkada 2018, Seharusnya sejak awal Prabowo berani secara tegas menyampaikan penolakannya atas keinginan SBY – Partai Demokrat bergabung dalam koalisi.

Sekarang sudah terlambat bagi Prabowo dan BPN mengecam SBY-Partai Demokrat atas berbagai manuver SBY-AHY lebih banyak merugikan koalisi.

 

Terlihat jelas upaya SBY mengamankan hasil pilpres 2019 yang sudah dimanipulasi untuk memenangkan Jokowi. Terlihat jelas, upaya SBY melemahkan internal koalisi dan gencar menyudutkan posisi Prabowo di mata publik. Langkah SBY ini tentu saja riskan mengingat Prabowo masih berpeluang besar menjadi pemenang Pilpres 2019. Jika hal ini terjadi, sangat mungkin SBY – AHY harus mengubur impiannya pada pilpres 2024.
Pencurangan Pemilu 2019
Prediksi tentang Pemilu 2019 bakal sarat dengan kecurangan sebenarnya sudah bergema sejak 2015 ketika Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2015 tentang KPK.
Melalui PERPPU itu tercium rencana penguasa menunggangi KPK dengan merekayasa periodesasi pimpinan KPK hingga tahun 2019. Konsekwenainya, masa jabatan pimpinan KPK yang seharusnya 2014-2018 dimundurkan menjadi 2015-2019 atau baru berakhir setelah penyelenggaran pemilu 2019 usai.
Di samping periodesasi pimpinan KPK yang dimundurkan setahun, syarat untuk menjadi pimpinan KPK juga direvisi melalui PERPPU tersebut. Capim KPK tidak lagi harus seorang sarjana hukum dan berusia maksimal 60 tahun. Mudah ditebak kemana maksud PERPPU ini diterbitkan: Penempatan figur-figur khusus yang sudah dipersiapkan sebelumnya untuk menjadi pimpinan KPK. Proses seleksi capim KPK pun menjadi hanya sekedar formalitas belaka.
Dalam proses seleksi calon pimpinan KPK yang sudah diskenariokan akan menghasilkan para kandidat ‘titipan’ itu, ternyata terjadi kejutan di mana muncul satu peserta seleksi capim KPK yang sangat menonjol dari hasil test yang diselenggarankan pansel KPK. Tokoh yang di luar perhitungan ini bernama Nina Nurlina Purnomo yang saat itu menjabat Direktur Pertamina Foundation.
Hasil fit and proper test Nina yang terbaik dalam seleksi capim KPK 2015-2019 mengungguli peserta test lain yang sudah digadang-gadanv sebagai ‘proksi’ elit penguasa di KPK: Basaria Panjaitan, Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Johan Budi.
Nina Nurlina akhirnya harus terdepak dari proses seleksi akhir yaitu pemilihan oleh Komisi III DPR, karena secara tiba-tiba Nina ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Bareskrim Polri. Nina pun terpaksa mundur dari proses seleksi dan harus menghadapi sangkaan korupsi oleh penyidik Bareskrim.
PERPPU No.1/2015 tentang KPK akhirnya berhasil mewujudkan rencana elit penguasa di balik Jokowi: SBY, LBP dan CSIS untuk menjadi pengendali KPK selama 4 tahun ke depan.
Komisi III DPR memutuskan memilih Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Saut Situmorang, Alexander Mawarta dan Johan Budi selaku pimpinan KPK 2015-2019. Namun, menjelang pengumuman nama-nama pimpinan KPK terpilih, mendadak Johan Budi harus digeser dan diganti dengan M Laode M Syarif, atas permintaan khusus Wapres Jusuf Kalla.
Ternyata Wapres JK membaca kemana arah KPK mendatang jika kelima pimpinan terpilih tidak satu pun dapat dinilai sebagai representasi umat Islam selaku kelompok mayoritas di Indonesia.
Agus Rahardjo adalah Kepala LPJK pada era Presiden SBY dan dinilai banyak pihak, terlibat dalam kisruh dan carut marut proyek EKTP. Agus yang kemudian terpilih menjadi Ketua KPK 2015-2019 tak pelak lagi adalah seorang proksi SBY.
Basaria Panjaitan dan Saut Situmorang adalah proksi Luhut Binsar Panjaitan. Meski Basaria berlatar belakang polri namun keberadaannya di KPK adalah atas endorsement Luhut. Hal sama pada Saut Situmorang, staf khusus Kepala BIN yang pernah menjadi anak buah Luhut ketika menjabat Dubes RI untuk Singapura. Saut bahkan secara terbuka mengaku di depan Komisi III DPR bahwa dia mengikuti fit and proper test capim KPK atas perintah LBP.
Alexander Mawarta adalah hakim Tipikor non karir yang diendors oleh CSIS sebagai pimpinan KPK. Dan terakhir adalah Laode M Syarif pengganti Johan Budi, adalah figur yang dipilih langsung oleh Wapres JK karena posisinya yang masih berada di delapan besar berdasarkan hasil fit and proper test pansel KPK.
Dari 5 pimpinan KPK 2015-2019 hanya dua orang yang bergelar sarjana hukum: Alex dan Laode. Bahkan Laode lebih merupakan pakar hukum lingkungan, bukan hukum pidana apalagi pidana korupsi.
Semua ini dimungkinkan karena PERPPU No.1/2015 tentang KPK yang sebenarnya inkonstitusional karena tidak memenuhi prasyarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, sebagaimana diharuskan UUD 1945.
Pelaksana Tugas Sementara Pimpinan KPK 2014-2015
Konsekwensi dari PERPPU No.1 /2015 tentang KPK adalah ditunjukannya Pelaksana Tugas Sementara (Plt) Pimpinan KPK sampai pimpinan KPK defenitif terpilih.

Selama masa transisi ini, kembali SBY membuktikan dominasinya di KPK dengan penunjukan Taufikurahman Ruki selaku Plt Ketua KPK 2014-2015. Ruki adalah mantan deputi SBY ketika menjabat Menkopolhukam 2001-2004. Ketika Ruki terpilih pertama kali menjadi Ketua KPK 2002-2006, banyak pihak memastikan peran SBY dalam penempatan Ruki sebagai Ketua KPK itu.

 

Selalu Plt Ketua KPK, Ruki mendapat tugas khusus dari SBY yakni memastikan agar kasus-kasus korupsi Jokowi dan Ahok tidak menjadi batu sandungan di masa mendatang terutama selama Ruki dan Agus Rahardjo menjadi Ketua KPK.
Misi lain yang tak kalah penting yang diemban Agus Rahardjo adalah pengamanan kasus korupsi Bank Century, Hambalang, Kernel Oil, Garuda, EKTP dan lain-lain yang potensial menyeret keterlibatan kekuarga Cikeas sebagai tersangka.
KPK Sebagai Instrumentum Est Plurimum

Tanpa disadari publik, KPK periode 2015-2019 kembali memainkan peran sebagai alat paling efektif (instrumentum est plurimum) dalam mewujudkan kemenangan pemilu.

Jika pada periode 2010-2014 KPK diarahkan menjadi alat penghancur citra Islam dan politisi Islam melalui kriminalisasi politisi-politisi partai Islam atau politisi muslim sebagai tersangka korupsi, dalam rangka memuluskan peluang Jokowi, kandidat sekuler menjadi pemenang pilpres 2014, namun pada periode 2015-2019 KPK gagal memainkan manuver yang sama karena terjadinya penolakan atas tambahan penyidik baru KPK dari Polri.
Penolakan internal KPK yang digalang oleh Novel Baswedan selaku Ketua Wadah Pegawai KPK, diduga menjadi penyebab terjadinya percobaan pembunuhan terhadap Novel Baswedan, pada satu subuh tak lama setelah penolakan terhadap puluhan penyidik baru dari Polri terjadi.
Meski begitu, KPK 2015-2019 kembali memainkan peran sebagai alat penekan dan penyandera tokoh partai seperti yang pernah dilakukan KPK pada saat menjelang pemilu- pilpres 2014.
KPK sepanjang tahun 2016 – 2018 membidik tokoh-tokoh partai terutama PDIP dah Golkar sebagai tersangka korupsi atau target OTT KPK. Dampaiknya luar biasa, PDIP dan Golkar menjadi bulan-bulanan serangan opini publik sebagai partai terkorup.
KPK kembali mendayagunakan kasus korupsi BLBI sebagai senjata andalan untuk menekan Ketum PDIP Megawati yang diancam bakal jadi tersangka jika tidak koperatif akomodatif dengan keinginan SBY dan LBP.
Megawati Ketum PDIP masih bisa bernafas lega karena akhirnya tidak dijadikan tersangka oleh KPK sebagaimana Setya Novanto Ketum Partai Golkar.
Sampai di sini pasti muncul pertanyaan publik: “Bagaimana mungkin PDIP dan Golkar yang merupakan partai pemenang pemilu dan penentu komposisi pimpinan KPK 2015-2019, dapat menjadi korban serangan dan jeratan kasus korupsi dari KPK?”
PDIP – Golkar Korban Manuver Hendropriono – Luhut B Panjaitan
Mustahil PDIP – Golkar tidak menyiapkan proksinya sebagai pimpinan KPK 2015-2019. Jawaban atas serangan KPK terhadap PDIP-Golkar sepanjang 2016-2018 ada pada Hendropriono (HP) dan Luhut B Panjaitan (LBP).
Kedekatan HP dengan Megawati dan PDIP sudah bukan rahasia lagi. HP selaku salah satu tokoh yang membidani kelahiran PDIP dan sebagai tokoh yang diamanatkan langsung oleh LB Murdani untuk menjaga Megawati, menjadikan HP sebagai penasihat utama dan kepercayaan Megawati/PDIP. Kandidat pimpinan KPK 2015-2019 proksi PDIP adalah Johan Budi. Namun, tak lama setelah terpilih di Komisi III DPR, Johan Budi harus digeser diganti Laode M Syarif atas permintaan Wapres JK. Dengan tersingkirnya Johan Budi, praktis PDIP tidak memiliki proksi di Pimpinan KPK. Kondisi ini yang menyebabkan PDIP sempat menjadi bulan-bulanan KPK sepanjang 2016-2017 dan pada awal 2018.

Demkian juga Golkar yang mempercayai segala urusan terkait proksi Golkar di KPK kepada LBP. Ternyata setelah Basaria dan Saut duduk sebagai Pimpinan KPK 2015-2019, Partai Golkar malah dijadikan target penyidikan kasus korupsi oleh KPK. Tentu saja, dengan secara selektif menentukan politisi Golkar mana yang dijerat oleh KPK. Mereka, politisi Golkar yang menjadi target jeratan kasus korupsi KPK semuanya dari faksi anti LBP.

 

Upaya PDIP-Golkar melakukan tindakan balasan atas serangan KPK diwujudkan melalui Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK. Pansus DPR ini hampir saja berhasil menempatkan KPK sebagai objek audit investigasi dan evaluasi DPR yang berujung pada perombakan total unsur pimpinan KPK dan reorientasi penyidikan KPK. Pansus DPR Hak Angket terhadap KPK yang begitu intens digelar DPR sepanjang 2017, mendadak hancur lebur buyar akibat manuver SBY yang menggalang penggembosan Pansus Hak Angket dan menekan KPK agar segera menetapkan Setnov sebagai tersangka korupsi.
Dengan manuver ini, KPK kembali ‘powerful’ dan sepenuhnya berada dalam genggaman SBY-LBP.
Pasca buyarnya Pansus DPR Hak Angket KPK, serangan terhadap Megawati melalui penyidikan kasus korupsi BLBI kembali dilancarkan KPK. Tujuan penyidikan KPK ini sama seperti pada 2013-2014 yakni sekedar sebagai alat penekan bagi Megawati agar menyetujui PDIP sebagai partai pengusung Jokowi di Pilpres 2019.
Penolakan Megawati atas keinginan SBY – LBP yang disampaikan melalui penyidikan kasus korupsi BLBI oleh KPK ini, sangat menjengkelkan SBY. KPK pun diperintahkan SBY untuk menjerat Syarifuddin Temenggung mantan Kepala BPPN sebagai tersangka. Tidak cukup hanya itu, ancaman juga disampaikan melalui sinyal bahwa Dorodjatun Kuntjorodjakti dan Budiono (mantan Menko Ekonomi dan Menkeu di Kabinet Megawati) bakal menyusul jadi tersangka jika Megawati masih menolak menetapkan Jokowi sebagai capres yang diusung PDIP pada pilpres 2019.
Rekonsiliasi PDIP dan SBY – LBP
Luput dari perhatian publik bahwa rezim Jokowi sesungguhnya adalah rezim SBY jilid III. SBY selaku tokoh paling berjasa menjadikan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta 2012 dan Presiden RI 2014, menempatkan dirinya sebagai pengendali utama dan pemegang saham terbesar di pemerintahan Jokowi.
Kehebatan SBY dalam mengecoh rakyat, lawan dan kawan politiknya, menyebabkan pada awalnya hanya segelintir pihak yang paham bahwa rezim Jokowi adalah kelanjutan rezim SBY.
Pada tahun pertama pemerintahan Jokowi, memang eksistensi SBY selaku penguasa sebenarnya di balik Jokowi tidak terlihat jelas. Namun, setelah Presiden Jokowi melakukan resufle kabinet pada 2015, barulah banyak pihak terbuka matanya.
Tim Ekonomi Pemerintah Jokowi adalah Tim Ekonomi SBY: Menko Ekonomi, Menkeu, Gubernur BI. Bahkan Ketua OJK Wimboh Santoso yang mantan Direktur Riset BI adalah kader SBY yang mengamankan kasus Bank Century.
Lebih jauh lagi publik menilai Jenderal Moeldoko Kepala Staf Presiden yang mantan Panglima era SBY atau Menlu Retno mantan Dubes Belanda dan anggota Tim Munir semua adalah kader SBY. Juga Menkes Nila Anfasa Moeloek adalah titipan Konglomerat Sampurna yang disodorkan SBY ke Jokowi, Mentan Amran Sulaiman adalah titipan Konglomerat Antoni Salim via SBY.
Belum lagi Sofyan Djalil, mantan Menteri BUMN dan Deputi Wapres Budiono yang adalah tangan kanan SBY pada sabotase proyek EKTP. Demkian juga Letjen Agus Widjojo Gubernur Lemhanas mantan suksesor SBY ketika lengser dari Kaster TNI karena diangkat jadi Mentamben oleh Presiden Gus Dur 2001.
Masih banyak pejabat tinggi di pemerintahan Jokowi yang sejatinya adalah kader SBY (baca: bukan kader PD), seperti Kepala SKK Migas Amin Sunaryadi, Kepala BPH Migas Fansurullah Asa, Kepala BNPT Suhadi Alius, Kepala BNPB Doni Munardo dan seterusnya. Tentu saja Ketua KPK Agus Rahardjo dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang sebelumnya adalah Sekretaris Militer Presiden SBY.
Mayoritas pengamat kepolisian menilai, siapapun sosok Komandan Densus 88 Anti Teroris adalah pilihan SBY. Jika demikian, Kapolri Tito Karnavian yang mantan Dan Densus 88 sebenarnya adalah kader SBY.
Masih panjang daftar untuk diuraikan sebagai gambaran bahwa rezim Jokowi adalah kelanjutan rezim SBY. Fakta ini tentu cukup menyakitkan bagi PDIP yang di mata rakyat seolah-olah punya kuasa dan kendali pada rezim Jokowi. Perihal PDIP hanya menempatkan 4 kader sebagai menteri kabinet Jokowi, menyebabkan dominasi PDIP di pemerintahan Jokowi hanya sebuah imajinasi.
Fakta bahwa KPK menjadikan PDIP sebagai sasaran dan target penyidikan korupsi untuk menekan Megawati-PDIP agar bersedia mengusung Jokowi sebagai capres adalah sangat menyakitkan pada awalnya. Sebagai partai terbesar pemenang pemilu, PDIP kembali terpaksa mencalonkan orang lain bukan kader utama sebagai capres 2019.
Fakta bahwa pasca pengkhianatan HP – LBP yang sengaja menggagalkan penempatan proksi PDIP di jajaran pimpinan KPK 2015-2019 menyebabkan hubungan Budi Gunawan (BG) – LBP memburuk bahkan memanas. Dapat disimpulkan telah terjadi insubordinasi sebagian dari institusi Polri dan BIN terhadap Presiden Jokowi. Setelah hampir dua tahun dihadapkan pada insubordinasi BIN, barulah Presiden Jokowi atas usul SBY-LBP-HP membentuk Badan Sandi dan Siber Nasional (BSSN) sebagai substitusi BIN.
Pertikaian politik antara BG – Mega – PDIP dengan Jokowi – LBP – SBY yang terjadi sejak Desember 2015 baru berakhir pada April 2018. Rekonsiliasi itu diawali dengan kunjungan khusus AHY ke Jokowi di Istana Negara. Selanjutnya, Presiden Jokowi menerbitkan PERPPRES tentang BPIP di mana Megawati selaku Ketuanya.
Pada April 2018 dicapai kesepakatan bahwa PDIP bersedia mengusung Jokowi Maruf pada Pilpres 2019, dengan syarat dibukanya peluang BG untuk menjadi wapres pengganti Maruf Amin paling lama setahun setelah pelantikan. Guna menunjukan komitmen atas kesepakatan ini, Presiden Jokowi menerbitna PEPPRES Nomor 18 Tahun 2018 tentang Dokter dan Rumah Sakit Kepresidenan.
Rekonsiliasi PDIP dengan SBY – LBP menimbulkan optimisme Jokowi – Maruf pasti akan memenangkan pilpres 2019. Optimisme ini didasarkan pada kekuatan koalisi PDIP-Golkar-Nasdem-PKB-Hanura-PPP dan tentu saja Partai Demokrat sebagai koalisi yang menyamar ke kubu lawan (Gerindra, PAN dan PKS).
Melalui rekonsiliasi dengan PDIP ini, rencana SBY-LBP-HP memenangkan Jokowi pada pilpres 2019 dengan segala cara akan semakin mudah terwujud.
Jokowi Menang Pilpres 2019 adalah Harga Mati
Membahas pencurangan pemilu (pilpres) 2019 tidak bisa tidak harus melihat kembali ke belakang: Pilpres 2014 dan Pilpres 2009.
Pilpres 2014 dan 2009 adalah bukti terjadinya pencurangan pada pemilu namun tidak diselesaikan secara tuntas karena tidak berfungsinya atau terkooptasinya lembaga-lembaga negara, seperti KPU dan MK.
Pencurangan masif, sistematis dan terstruktur pada pemilu di era reformasi pertama kali terjadi pada pemilu 2009. Sedikitnya terdapat 26 juta pemilih siluman pada DPT 2009 yang memungkinkan SBY – Budiono menang dalam satu putaran dan suara Partai Demokrat melonjak lebih 300%.
Pada Pilpres 2009 KPU menetapkan DPT Pilpres 2009 sebanyak 176 juta pemilih dan sekitar 2 juta pemilih non DPT. Padahal penetapan DPT Pilpres 2004 sebesar 150 juta pemilih sudah diprotes berbagai kalangan karena dinilai “overstated”.
Pada pilpres 2014 KPU menetapkan DPT Pilpres 2014 sebesar 190 juta pemilih dengan sekitar 2 juta pemilih non DPT. KPU tidak mampu menyusun DPT 2014 secara akurat karena program SIN melalui Proyek EKTP yang diharapkan selesai pada tahun 2012 ternyata kacau dan carut marut. SBY dituding sebagai pihak yang mensabotase program pemerintahannya sendiri yakni EKTP untuk meenutupi kecurangannya di pilpres 2009 dan memudahkannya mencurangi pilpres 2014.
Pada Pemilu – Pilpres 2019 yang dilakukan serentak pada 17 April 2019, ditemukan kecurangan masif, sistematis dan terstruktur yang meliputi penyelenggaran pemilu dan pemerintahan.
Khusus mengenai kecurangan pemilu yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi, setidak-tidaknya, kecurangan itu meliputi: UU Pemilu, PERPPU KPK, PERPPU ORMAS, Mobilisasi ASN-BUMN, Pencairan Dana Desa, Kenaikan Tunjangan Babinsa 771%, Pemberian Gaji ASN Ke 13-14, Penambahan 13 ribu desa baru, Penempatan Militer Aktif pada jabatan sipil, pembentukan opini publik melalui mobilisasi media mainstream, represifisme dan kriminalisasi unsur anti rezim Jokowi, mobilisasi TNI-Polri dan Birokrasi untuk pemenangan pemilu-pilpres kubu Jokowi dan seterusnya.
Sementara itu, KPK yang dikendalikan SBY-LBP terus bermanuver menyandera elit partai pendukung dan kepala daerah agar tetap membantu pemenangan Jokowi secara all out.
Bagaimana dengan KPU – Bawaslu – Mahkamah Konstitusi? Ketiga lembaga ini sudah lebih menyerupai timses capres Jokowi ketimbang sebagai lembaga negara yang independen, netral dan tidak partisan.
Fakta Pencurangan dengan Manipulasi Rekap Suara Pilpres
Mungkin hanya kata ‘brutal’ yang dapat menggambarkan buruknya kualitas penyelenggaraan pemilu tahun 2019. Melihat begitu banyak kecurangan terjadi di hampir seluruh dapil – propinsi, dapat disimpulkan sesungguhnya tidak ada penyelenggaraan pemilu di Indonesia, yang ada hanya manipulasi suara pemilu.
Kebrutalan pemilu Indonesia diawali oleh keputusan KPU yang menetapkan 193 juta pemilih pada pemilu 2019, di tengah begitu banyaknya bukti bahwa sekitar 31,9 juta pemilih yang tercantum dalam DPS adalah pemilih ganda, fiktif, ilegal.
KPU maju terus dengan 193 juta pemilih pada DPT. Lalu, terhadap uji materi beberapa pasal UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, Mahkamah Konstitusi memutus siapa saja yang belum terdaftar di DPT tetapi memiliki KTP atau surat keterangan sedang mengurus kepemilikan KTP diperkenankan untuk memilih. Belum cukup sampai di situ, MK dan KPU memperpanjang pemilih pindahan sampai sehari menjelang pemberian hak suara.
Beberapa putusan MK dan Peraturan KPU akhirnya memperkosa kejujuran dan kesahihan pemilu 2019. Terbukti kemudian, jumlah pemilih non DPT membengkak ribuan hingga ratusan ribu di sejumlah kabupaten – kota, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Bali, Maluku, Sulut dan NTT.
Kebrutalan pemilu 2019 semakin sempurna dengan sikap KPU mempertahankan kegilaan terkait DPT Propinsi Papua yang kembali ditetapkan jauh lebih besar daripada jumlah penduduknya. Kegilaan DPT Papua sejak 2009, makin parah pada 2014 dan mencapai puncaknya pada 2019. Penduduk Papua pada tahun 2019 hanya 3,3 juta jiwa namun memiliki pemilih sebanyak 3,5 juta orang tercantum pada DPT Papua. Ini belum termasuk pemilih non DPT yang jumlahnya juga ugal-ugalan.
Bangsa Indonesia berada di simpang jalan. Tetap ngotot mempertontonkan ketololan, melalui pencurangan pemilu yang brutal.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur jumlah pemilih DPT dan non DPT hampir mencapai 90% dari jumlah penduduknya. Pelaksaan pemilu serentak, memudahkan bagi siapa saja menemukan pencurangan pemilu khususnya pilpres di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, Sulawesi Utara dan seterusnya. Khusus Papua, kegilaan pemilu di Papua membuatnya tak layak untuk dibahas. Memalukan !
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur ditemukan total lebih 10 juta suara tidak sah pada rekap suara hasil pileg DPD dan DPRD. Namun, angka 10 juta lebih suara tidak sah itu, mendadak menyusut drastis pada rekap suara hasil pilpres. 10 juta suara tidak sah pada rekap pileg itu bertransformasi menjadi suara sah di rekap pilpres sebagai suara tambahan untuk capres Jokowi.
Kedunguan, amoral, kebrutalan secara vulgar dipertontonkan oleh KPU selaku penyelenggara pemilu dan pemerintah sebagai penanggungjawab pemilu.
Dan seperti diduga sebelumnya, mantan Presiden SBY diam seribu bahasa menyaksikan super manipulasi pemilu, bahkan sebaliknya mendesak agar rakyat menerima kegilaan ini sebagai hasil pemilu yang sudah sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Inilah Kelemahan Prabowo – Sandiaga Penyebab Kekalahan Pilpres 2019

Mencermati tren preferensi publik, dinamika dan konstelasi politik domestik dan global, besar keyakinan pada 17 April 2019 nanti Indonesia akan memiliki pemimpin baru yang akan mengantarkan rakyat, bangsa dan negara Indonesia meraih cita-cita bersama: masyarakat adil makmur aman sejahtera.

Sampai akhir September 2018 sangat kuat keyakinan publik bahwa Prabowo – Sandiaga dan timsesnya akan dapat memantapkan dan meningkatkan dukungan rakyat untuk memenangkan pemilu 2019.

Survey di beberapa kota di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keinginan yang kuat untuk perubahan, kecuali di Kalimantan, Bali dan NTT yang meski mayoritas warga ingin perubahan namun keinginan tersebut belum cukup kuat untuk memastikan kemenangan Prabowo.

Begitu kencangnya angin perubahan, sehingga banyak kalangan memperkirakan Prabowo pasti menang. “Hanya kelengahan yang dapat menggagalkan Prabowo”.

Keyakinan kuat atas kemenangan Prabowo di antaranya didasarkan pada:

Perubahan konstelasi global, diawali dengan kemenangan Trump atas Clinton pada Nopember 2016 lalu. Praktis sejak 2017, kebijakan Amerika Serikat berubah total. Tidak ada lagi adikuasa China, AS dan sekutu-sekutunya yang memaksakan kehendak mereka seperti 2014 lalu: Jokowi harus menang.

China adalah sekutu erat AS di bawah pemerintahan Obama dan Clinton (Partai Demokrat), berubah menjadi “musuh besar” AS di bawah Trump, setidaknya musuh AS dalam perang dagang dan konflik Laut China Selatan.

Selama 16 tahun (masa Clinton dan Obama) China menikmati konsesi politik dan ekonomi AS khususnya dalam bentuk dukungan AS terhadap agenda dan kepentingan Global China, termasuk kepentingan China di Indonesia.

 

Kilas Balik 2010-2014

Pada 2008-2016 China – AS bersama seluruh sekutunya adalah pendukung terkuat Jokowi-Ahok. Singkatnya dapat disimpulkan bahwa kekuatan dunia internasional berada di belakang Jokowi-Ahok. Vatikan, Santamaria Network, Komunis internasional, China Diaspora Internasional dan lain-lain, berada satu barisan pendukung Jokowi-Ahok. Wajar jika Jokowi-Ahok dijuluki unstoppable sepanjang 2011-2016.

Namun meski demikian, sebagaimana diketahui bersama pada pilpres 2014 lalu Prabowo memperoleh dukungan rakyat sangat besar. Berdasarkan data dimiliki Prabowo – Hatta adalah pemenang pilpres yang sebenarnya dengan perolehan suara 53%.

Sejak 2011 hingga menjelang pengumuman pemenang pilpres 21 Juli 2014, tekanan luar biasa ditujukan kepada Presiden SBY dan pemerintahannya dari luar dan dalam negeri guna memastikan Jokowi ditetapkan sebagai pemenang pilpres 2014.

Mantan Presiden Bill Clinton secara khusus menyempatkan diri mengunjungi Presiden SBY pada dini hari tanggal 21 Juli 2014 bertepatan dengan pengumuman pemenang pilpres 2014 oleh KPU. Senator dan Congressman AS secara khusus temui SBY sebelum pelantikan presiden baru. Bahkan SBY harus ke Washington DC temui Obama guna melaporkan tugas dan tanggung jawabnya mengantarkan Jokowi sebagai presiden RI sudah ditunaikan dengan baik.

Sikap Presiden SBY yang diam-diam membantu kemenangan Jokowi-Ahok pada pilkada Jakarta 2012 dilatarbelakangi ancaman dan tekanan luar biasa: di awali dengan pemberitaan di media terkemuka Australia ‘The Age’ dan ‘The Herald’ edisi 11 Maret 2011 berjudul “Wikileaks: SBY Abuse of Power” mengutip informasi yang sengaja dibocorkan kedubes AS di Jakarta guna memberi sinyal tekanan kepada SBY.

Dilanjutkan dengan pemberitaan serupa di sejumlah media asing. Di depan publik Presiden SBY protes keras kepada Dubes dan Pemerintah AS, di belakang SBY terpaksa melakukan kesepakatan rahasia dengan AS untuk mempertahankan kekuasaannya yang sedang terancam. SBY terpaksa menuruti kehendak AS dengan membantu kemenangan Jokowi Ahok di Pilkada Jakarta 2012.

Pasca insiden ‘The Age’ itu, Presiden SBY membuat berbagai keputusan strategis guna membantu kemenangan Jokowi Ahok: Resuffle Kabinet di antaranya mengganti Menpera Suharso Monoarfa dengan Djan Faridz, selanjutnya Faridz mengonsolidasi para pengembang Jakarta untuk mendukung kemenangan Jokowi-Ahok, dan seterusnya.

SBY mempromosikan Mayjen Moeldoko, mantan Pangdam Siliwangi yang sudah disingkirkan ke Lemhanas pasca Kasus Operasi Sajadah, menjadi Wakasad, selanjutnya menjadi Kasad dan Panglima TNI. Mantan Spri Hendropriono ini mengamankan posisi Jokowi Ahok. SBY juga menempatkan paman Jokowi dari pihak Ayah: Irjen Pol Sutarman sebagai Kapolda Metro selanjutnya sebagai Kapolri.

Bantuan terbesar Presiden SBY terhadap Jokowi Ahok adalah memberi perlindungan hukum terhadap banyak kasus korupsi Jokowi – Ahok selama menjabat Walikota Surakarta dan Bupati Beltim serta ketika menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta. Tidak satu pun institusi hukum Indonesia berani usut kasus-kasus mereka.

Prabowo dan Partai Gerindra boleh saja mengklaim sebagai sponsor utama dan faktor dominan kemenangan Jokowi-Ahok di Pilkada 2012, namun tidak dapat dipungkiri peran besar SBY, meski untuk itu SBY harus mengkhianati partai dan kadernya sendiri di Pilkada Jakarta: Partai Demokrat adalah pengusung Cagub Fauzi Bowo dan Cawagub Nahrowy Ramly, di mana Ramly sendiri adalah ketua DPD Partai Demokrat Jakarta.

Pengulangan kembali kisah lama ini untuk mengingatkan kita semua pada fakta yang ada sehingga tidak keliru dalam menentukan sikap ke depan.

Menjelang Pilpres 2014, pada akhir Mei 2013 SBY berkunjung ke Amerika. Agenda resminya adalah menghadiri penyerahan penghargaan sebagai Negarawan “Tokoh Toleransi Beragama Dunia” dari sebuah Yayasan Yahudi New York.

Penyerahan penghargaan ini adalah kamuflase maksud dan tujuan kunjungan SBY ke Amerika, yaitu memenuhi undangan Obama yang disampaikan Scot Marceil Dubes AS di Jakarta pada awal Januari 2013.
Pertemuan SBY – Obama di Washington DC pada akhir Mei 2013 adalah terkait dengan mewujudkan agenda politik AS untuk menempatkan Jokowi sebagai Presiden RI. Presiden SBY diminta membantu sepenuhnya.

Kesepakatan tercapai: SBY komit membantu penuh Jokowi jadi presiden RI, namun partai pengusungnya adalah PDIP dan minimal 1 partai islam. Saat itu SBY sudah dapat memastikan PKB akan menjadi partai koalisi pengusung Jokowi.

Masalah krusial hanya pada PDIP yang kemungkinan besar menolak permintaan SBY dan AS agar mengusung Jokowi sebagai capres 2014: Hasil Munas PDIP di Bali 2010 mengamanatkan Megawati sebagai capres 2014 dan perjanjian Mega-Prabowo di Batutulis, Bogor menyebutkan komitmen Megawati akan mendukung Prabowo pada Pilpres 2014. SBY minta bantuan AS untuk menekan PDIP jika upayanya melalui Taufik Kemas gagal. Wapres Budiono bertemu dengan Taufik Kemas suami Megawati di Acara Peresmian Museum Bung Karno di Ende, NTT pada 1 Juni 2013, dua hari setelah kesepakatan SBY-Obama di DC. Budiono menyampaikan pesan dari SBY kepada Taufik Kemas. Pada 4 Juni 2013 Taufik Kemas kembali ke Jakarta usai mengikuti acara di Ende, NTT. Keesokan harinya, 5 Juni 2013 Taufik menyampaikan pesan SBY yang diterima melalui Budiono: PDIP harus segera mengusung Jokowi sebagai capres. Presiden SBY komit membantu dari balik layar dan pemerintah AS memberikan dukungan penuh mewujudkan kemenangan Jokowi di pilpres 2014.

Megawati menolak permintaan SBY – AS. Selang 2 hari kemudian TK mendadak sakit parah, dibawa ke RS Singapore dan meninggal pada 8 Juni 2013. PDIP mengalami kekalahan di banyak Pilkada termasuk di Bali. Gerakan pendongkelan Megawati dari ketua umum PDIP bergulir di seluruh Indonesia.

Semua ini tidak terlepas dari intervensi kekuatan Konspirasi Global dipimpin AS-China terhadap Indonesia.

Situasi dan kondisi politik 2011-2014 tidak tampak pada 2017-2018 pasca peralihan kekuasaan dari Demokrat ke Republik melalui kemenangan Trump atas Hillary Clinton 4 Nopember 2016.

Agenda utama AS – China menempatkan Jokowi sebagai Presiden RI 2014-2019 dan Jokowi Ahok sebagai Presiden – Wakil Presiden RI 2019-2024, selanjutnya Ahok sebagai presiden RI 2024-2034 semakin sulit diwujudkan pasca kekalahan Demokrat di Pilpres AS Nopember 2016.

Status Jokowi lebih merupakan proksi CSIS dan kelompok jenderal purnawirawan tertentu yang secara politik – historis adalah musuh politik Suharto. Absennya Ahok di pilpres 2019, menyebabkan dukungan China-Demokrat AS dan konglomerat tionghoa di luar kubu Wanandi bersaudara/CSIS terhadap Jokowi menyusut drastis. OTT suap Meikarta (Lippo) oleh KPK adalah salah satu upaya kubu Jokowi-CSIS-Jenderal Binaan Murtopo-Murdani untuk menarik dukungan James Riady dan konglomerat pendukung Ahok untuk mendukung Jokowi.

Manuver KPK terhadap James Riady, memberi sinyal kuat bahwa target berikutnya bisa siapa saja di antara konglomerat pendukung Ahok yang tidak mendukung kemenangan Jokowi. Di sisi lain, manuver KPK ini refleksi kepanikan kubu Jokowi.

Kekuatan pendukung Jokowi sebagaimana diuraikan singkat di atas, sekarang relatif sudah tidak ada lagi. Kekuatan pendukung Jokowi menyusut hingga tinggal 10% dari sebelumnya (2010-2014). Oleh sebab itu, prediksi bahwa Prabowo akan memenangkan pilpres 2019 dengan selisih suara yang besar sangat mungkin terwujud.

Namun, perkembangan terakhir menunjukkan gejala cukup mengkhawatirkan, momentum emas kemenangan Prabowo akan dapat saja kembali hilang. Kemenangan yang sudah di tangan lepas. Bukan semata-mata karena kehebatan pihak lawan , namun lebih merupakan kelengahan dan kelemahan dari timses Prabowo – Sandiaga sendiri. Jika hal ini terjadi, sungguh disesalkan karena tidak belajar dari kesalahan masa lalu. Kembali terperosok ke lubang yang sama.

Kerugian terbesar bukan terhadap Prabowo atau Partai Gerindra, melainkan pada rakyat, bangsa dan negara Indonesia. Suatu hal yang rakyat semua tidak menginginkannya. Rakyat, bangsa dan negara Indonesia dipastikan akan semakin hancur selama 5 tahun ke depan.

Prioritas Prabowo – Sandiaga

Waktu tersisa tinggal lima bulan lagi. Prabowo Sandi sebaiknya mempertimbangkan pengembangan timses sedemikian rupa hingga mencakup seluruh tupoksi (tugas pokok dan fungsi) ideal untuk memenangkan sebuah Pilpres.

Tupoksi tambahan itu meliputi:

Pengamanan terhadap independensi KPU, Bawaslu, KPK, MK, Kejaksaan, Polri, TNI dan seterusnya.
Harus ada sebuah tim yang bertugas dan bertanggungjawab untuk memastikan netralitas KPU, Bawaslu, KPK, MK, Kejaksaan, Polri dan TNI.

Pada 2014 lalu, para komisioner KPU tersandera oleh banyak kasus akibat menerima suap dari para kontraktor rekanan KPU pemenang lelang pengadaan KPU. Juga penyanderaan tambahan terhadap Ketua KPU dengan ancaman penetapan status tersangka oleh Kejari Padang terhadap Endang istri Husni Kamil Manik Ketua KPU.

Pengakuan almarhum Husni kepada para kerabat sebelum kematiannya, mengenai penyanderaan para komisioner KPU dan lain-lain, saat itu tidak bisa dilontarkan ke publik karena begitu kuatnya pengendalian dan kooptasi kubu Jokowi terhadap media mainstream dan medsos. Pengungkapan itu juga tidak akan diproses hukum karena rezim SBY komit mencegah semua proses hukum yang dapat menghalangi kemenangan Jokowi JK.

Sekarang situasinya berbeda dengan 2014 lalu. Media tidak lagi 100% dikendalikan kubu lawan. Artinya, segala bentuk penyimpangan dan pelanggaran hukum oleh KPU seharusnya dapat kita cegah. Prioritas utama adalah penetapan DPT 2019. Prabowo harus mengerahkan seluruh sumber daya yang diperlukan untuk mencegah penambahan 31,97 juta pemilih baru yang diragukan keabsahannya ke dalam DPT 2019.

Penetapan DPT adalah kewenangan KPU berdasarkan UU No.7/2017. Apakah timses sudah melakukan upaya maksimal memberi penguatan dan dukungan kepada KPU agar dapat menepis intervensi pemerintah dan menetapkan DPT sesuai UU?

Apakah sudah ada dari timses yang mengawal dan menjaga KPU agar tetap independen, tidak terjerat kasus hukum khususnya dalam berbagai proyek pengadaan di KPU?

Apakah sudah ada dari timses yang memonitor dan mengawasi perilaku komisioner/pejabat KPU guna memastikan tidak terjadinya kolusi dengan kubu lawan? Dan seterusnya.

Di samping DPT nasional yang harus dipertahankan seakurat mungkin, permasalahan DPT Papua juga sangat mengganggu. Jumlah warga Indonesia di Papua hanya 3,3 juta jiwa dengan jumlah pemilih 1,8 juta jiwa, KPU Papua telah menetapkan DPT Papua 2019 sebanyak 3,5 juta atau lebih 200% dari jumlah yang seharusnya.

Urgensi kehadiran timses dengan tupoksi menjaga independensi KPU harus menjadi concern Bapak Prabowo-Hashim. Urgensi kehadiran timses dengan tupoksi sama terhadap KPK, Bawaslu, MK, Polri dan Kejaksaan juga harus jadi perhatian.

Pada 2013-2014 lalu, 8 hakim MK tersandera kasus hukum. Penyidikan kasus suap Ketua MK Akil Muhtar oleh KPK, menemukan bukti yang cukup untuk menjerat 8 hakim MK lain turut menjadi tersangka suap. Namun, seperti diketahui bersama, faktanya adalah 8 hakim MK saat itu tidak dilibatkan dan tidak dijadikan tersangka oleh KPK. Mereka, 8 hakim MK menjadi sandera KPK dan dipaksa untuk menuruti perintah KPK yaitu memastikan penolakan gugatan paslon pilpres Prabowo-Hatta terhadap kecurangan pilpres 2014.

Modus penyanderaan hakim MK oleh KPK seperti ini harus dipastikan tidak terjadi lagi sekarang pada Pilpres 2019.

Juga harus dipastikan, tidak ada penyanderaan para Kepala Daerah, Komisoner KPU, Kapolri, Bawaslu, tokoh-tokoh kunci di timses PS dll oleh KPK.
Jangan sampai terulang penyanderaan Zulkifli Hasan Bendahara Timses Prabowo Hatta 2014 dan beberapa tokoh kunci timses lalu oleh KPK melalui berbagai kasus korupsi: alih fungsi lahan hutan dll.

Harus ada dari timses yang memastikan KPK independen dalam semua penanganan kasus hukum. Memastikan kasus hukum yang ditangani KPK tidak terkait kepentingan memenangkan petahana. Hal yang sama diterapkan pada Polri dan Kejaksaan.

Untuk memastikan kemenangan Prabowo, kehadiran timses yang khusus menjaga independensi lembaga negara dan pemerintah yang terkait dengan pemenangan pilpres harus direalisasikan secepatnya.

Kasus Ratna adalah contoh kelemahan mendasar timses yang ada sekarang dan ketidakmampuan dalam mengelola sebuah isu. Saya bersyukur banyak pihak di luar timses yang bersedia terlibat untuk membantu membalikkan keadaan.

Prabowo sangat terbantu gerak cepat pendukungnya yang berada di luar timses untuk mengatasi dampak kasus Ratna yang sangat destruktif. Menghancurkan moral pendukung Prabowo. Oleh sebab itu, seluruh jaringan non timses secara cepat dan serempak tanpa diminta turut membantu mengubah opini publik terkait kasus Ratna.

Prabowo seharusnya pasti sudah menyadari kekuatan dahsyat jutaan pendukungnya yang aktif di luar timses, mereka bekerja tanpa pamrih. Semata-mata karena keikhlasan, ketulusan dan kecintaan kepada Prabowo. Ini adalah aset luar biasa, namun sayangnya tidak dikelola dengan baik. Ibarat tanaman, jika tidak dirawat dengan baik, kemungkinan besar mati atau layu. Tidak melihat ada usaha yang signifikan dari Prabowo dan timsesnya untuk merawat jutaan rakyat Indonesia yang setia, cinta, tulus dan ikhlas berjuang bersama Prabowo.

Prabowo sebaiknya sering diingatkan untuk menyampaikan terima kasih, apresiasi, pujian dan sejenisnya kepada puluhan juta bahkan lebih seratus juta rakyat Indonesia yang telah bersama beliau selama ini. Apresiasi itu harus disampaikan secara terbuka dalam setiap kesempatan bicara di depan publik. Ini adalah salah satu contoh terbaik bagaimana memaintain pendukung.

Pada pertarungan pilpres, kandidat butuh semua orang, secara ekstrem dapat diibaratkan timses ideal itu berjumlah 160-190 juta orang. Semua rakyat pemilih.

Ini memang hanya metafora untuk menggambarkan bahwa sebagai capres, Bapak Prabowo butuh dukungan semua orang. Satu musuh terlalu banyak. 100 juta teman belum cukup memastikan Prabowo menjadi Presiden RI 2019-2024. Kanalisasi untuk menampung semua pendukung harus dilakukan.

Untuk timses inti, sebaiknya dibentuk secara khusus tim Alfa hingga tim Zulu dengan tupoksi khusus masing-masing. Sebagai model, timses yang pernah dibentuk SBY pada pilpres 2004 dan 2009 dapat dijadikan contoh. Lebih banyak tim yang bergerak di belakang layar. Tim ini akan lebih efektif dalam mencapai target/tujuan. Di samping mencegah mereka dari sasaran kriminalisasi dan likuidasi kubu lawan.

Maknanya adalah keterlibatan dan partisipasi rakyat sebanyak-banyaknya untuk memenangkan pilpres.

Salam Indonesia Raya
Indonesia First – MAKES INDONESIA GREAT AGAIN !

Kebenaran itu Menemukan Jalannya Sendiri: 87% Rakyat Tolak Jokowi 2 Periode

images (3).jpeg

Segala cara telah dan terus ditempuh kubu Jokowi untuk menutup dan menghentikan berbagai fakta, berita, informasi yang dinilai merugikan kepentingan Jokowi, khususnya yang dapat menyebabkan kekalahannya dalam pilpres 2019.

Hasil sebuah polling pasti selalu menimbulkan pro kontra, suka-benci, senang-sedih dan seterusnya. Ada kalanya, pihak tertentu sulit menerima kenyataan meski sudah terpampang jelas di depan mata. Berusaha untuk lari dari kenyataan, membantah fakta dan realita, bersembunyi dari kebenaran. Reaksi yang timbul dari sebuah polling atau jajak pendapat seharusnya konstruktif, dalam arti bahwa hasil polling menjadi masukan bagi pihak terkait sebagai parameter, bahan analisa dan evaluasi,  atau sebagai dasar pertimbangan mengambil keputusan.

Dihentikan Mendadak

Polling Google yang diselenggarakan mulai 28 Maret 2018 lalu misalnya, tidak seharusnya malah menjadi motifasi para pendukung Jokowi bertindak destruktif: Menyerang siapa saja yang mempublikasikan hasil polling google itu, berusaha mengirim virus, menyabot atau membajak akun atau situs, membuat kisah fiktif dalam upaya membantah dan menolak kenyataan.

9893310_20180402080317

Satu hal yang sudah pasti adalah fakta bahwa penghentian penyelenggaraan polling yang dilansir Google. Polling direncanakan berlangsung dari 28 Maret hingga 20 April 2018 atau selama 23 hari, mendadak dihentikan tanpa penjelasan oleh Google pada tanggal 3 April atau 20 hari lebih awal dari jadwal semula.

Tidak ada penjelasan dari Google menimbulkan dugaan dan analisa publik berkembang sesuai dengan pikiran masing-masing. Mayoritas publik yakin penghentian mendadak lebih cepat dari rencana, pasti disebabkan hasil sementara Polling yang sangat menunjukan lebih 87% responden Google menolak Jokowi memangku jabatan presiden dua periode.

36 ribu dari 41 ribu responden memilih Jokowi tidak perlu menjadi presiden lagi setelah periodeisasi pertama selesai.

Hanya 5 ribu responden yang menginginkan Jokowi menjabat presiden dua periode.

Pendapat mayoritas responden google ini tidak jauh beda dengan pendapat masyarakat yang mudah ditemukan sehari-hari.  Dari perbicangan para karyawan di kantor, diskusi mahasiswa di kampus-kampus, obrolan di kedai kopi atau warung tegal, atau percakapan pengendara gojek dengan penumpang, dapat disimpulkan mayoritas sepakat Jokowi cukup satu periode: 1 periode cukup, 2 periode jangan.

Jika demikian adanya, lalu mengapa Google tiba-tiba menghentikan polling menarik itu? Tentu saja ada pihak terkait yang karena kekuasaan dan uangnya mampu memaksa Google menghentikan polling yang dinilai merugikan citra dan memupus peluang Presiden Jokowi untuk tampil sebagai pemenang di Pilpres 2019.

Lalu, bagaimana sebaiknya rakyat menyikapi respon emosional dari kubu Jokowi terhadap Polling Google? Menurut saya, pertama harus diketahui apakah Jokowi sebagai pihak paling berkepentingan atas polling google itu tahu atau tidak mengenai pemberhentian polling yang merupakan tindakan memalukan itu?

Jika Jokowi tidak tahu, anggap saja penghentian polling dilakukan oleh orang-orang Jokowi yang dipastikan bermental penjilat, memegang prinsip ABS (asal bapak senang), menutup mata Jokowi dari aspirasi rakyat yang sebenarnya. Dalam hal ini, rakyat harus menempatkan Jokowi sebagai korban dari penipuan para stafnya.

Namun, jika diketahui bahwa penghentian itu sudah sepengetahuan dan persetujuan Jokowi, maka hasil polling google itu benar-benar relevan untuk dipertimbangkan: bahwa Jokowi memang tidak diinginkan rakyat menjadi presiden lagi. Satu periode sudah lebih dari cukup !

Terlebih jika Jokowi sendiri yang meminta polling itu dihentikan mendadak karena takut menyebar luas dan menutup peluangnya dapat jadi presiden dua periode. Jika begitu adanya, maka rakyat sah berkesimpulan, Jokowi benar-benar tidak tahu malu dan tidak tahu diri.

Sebuah jajak pendapat (polling) dilakukan di Google Polling (http://www.googlevote.gdn).

Google mengajukan pernyataan dan pertanyaan kepada responden swbagai berikut:

“Presiden Joko Widodo disebut berhasil membawa kemajuan bagi Indonesia dan dinyatakan sangat layak untuk memimpin RI 2019-2024. Bagaimana tanggapan anda?”

Sampai hari Senin (2/4/2018) pukul 17.12 WIB menunjukan mayoritas warganet TIDAK SETUJU JOKOWI 2 PERIODE.

Dari 41.275 responden yang telah memberikan suara, sebanyak 87% (36.039) menyatakan Sangat Tidak Setuju Jokowi memimpin RI lagi di 2019-2024. Sedangkan mereka yang setuju hanya sejumlah 13% atau sekitar 5.236 responden.

Polling yang dimulai 28 Maret ini akan ditutup pada 20 April 2018. (Google)

Berikut polling tersebut;

http://www.googlevote.gdn/2018/03/joko-widodo-dianggap-layak-memimpin.html

Hasil sementara polling Google itu ternyata membuat kalangan istana panik. Diduga kepanikan pejabat tinggi di sekeliling Presiden Jokowi yang menyebabkan polling Google tidak dapat lagi diakses sejak tanggal 3 April 2018 lalu.

Hasil sementara Polling Google terakhir kali dapat dilihat pukul 11.17 WIB (3/4/2018) yang mencatat 58.516 responden. Sebanyak 53.249 responden atau 91% memilih TIDAK SETUJU Jokowi memimpin RI kembali untuk periode 2019-2024. Hanya 9% (5267) responden atau  yang menyatakan SETUJU.

Puluhan tulisan disebarkan kubu Jokowi hanya untuk menyanggah kebenaran polling Google itu. Namun, semua itu sia-sia. Emas tetap emas, loyang adalah loyang.

Kebenaran itu menemukan jalannya sendiri”

 

CIA: Suharto Selamatkan Indonesia dari Kehancuran

 

Berbagai analisa seputar kudeta G 30 S/PKI banyak dipublikasikan untuk mencoba memberikan gambaran sebenarnya mengenai peristiwa yang terjadi. Semua itu sah-sah saja, namun satu hal yang harus disepakati bersama, yaitu tampilnya Jenderal Suharto sebagai pemimpin Indonesia menggantikan Sukarno, telah menyelamatkan Indonesia dari kehancuran.

Publikasi dokumen rahasia Central Intelligence Agency (CIA) berdasarkan UU keterbukaan informasi Amerika Serikat, mengungkap banyak fakta seputar kudeta PKI pada 30 September 1965, peran Jenderal Suharto sebagai penyelamat negara dari bahaya penguasaan total komunis atas Indonesia melalui penyingkiran pimpinan TNI AD. Lebih dari itu, tampilnya Suharto sebagai pengganti Sukarno, menjadi berkah bagi bangsa Indonesia yang sedang dilanda kemerosotan ekonomi, bahaya kelaparan, kemiskinan, kebodohan dan keterpurukan di segala bidang kehidupan.

Perjalanan sejarah Indonesia modern telah bergeser secara meyakinkan dalam tiga tahun sejak Partai Komunis Indonesia (PKI) gagal dalam upaya untuk menghilangkan kekuatan saingan utamanya, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD).

Sejak kudeta berdarah 30 September 1965 tentara telah konsolidasikan posisinya sebagai wasit politik di negara ini. Dengan hati-hati dan pertimbangan, Jenderal Suharto, pemimpin TNI-AD telah menghancurkan hampir semua kekuatan Komunis dan Sukarno, dan telah mengambilalih jabatan sebagai Presiden.

Suharto Luput dari Radar PKI
Keberhasilan Suharto menumpas kekuatan komunis pasca kudeta terhadap pimpinan TNI – Angkatan Darat pada 30 September 1965 memang sangat mengesankan, sehingga melahirkan beberapa pemikiran dari pihak asing, terutama Uni Soviet bahwa kemungkinan intervensi Amerika Serikat menjadi beralasan. Kecenderungan seperti itu dapat dimengerti jika tidak memahami Jenderal Suharto sebagai pemimpin militer yang sangat efisien namun terbukti efektif.

Jenderal Suharto dikarenakan posisinya di TNI-AD yang hanya sebagai panglima pasukan cadangan, tidak diperhitungkan PKI, karakternya low profile, menjadikannya tenggelam dalam bayang-bayang Jenderal Ahmad Yani. Sebagai mantan Panglima Komando Operasi Mandala yang mengalami kegagalan total dalam upaya merebut Papua dari pendudukan Belanda, Suharto selalu menjadi kambing hitam dan mengambilalih semua tanggungjawab kesalahan Presiden Sukarno, inisiator penaklukan Papua yang dalam sekejap berubah menjadi bencana.

Selama beberapa tahun pasca kegagalan total Operasi Mandala, Jenderal Suharto praktis sama sekali tidak pernah mencuat ke permukaan, tidak menonjol dibanding para pemimpin TNI-AD lainnya. Suharto luput dari radar PKI sehingga namanya tidak masuk dalam daftar pendek pemimpin TNI-AD yang harus dihabisi PKI pada malam di akhir bulan September 1965.

Beberapa faktor menjadi kunci sukses Jenderal Suharto dalam mematahkan kudeta PKI yang direstui Sukarno itu. Operasi militer PKI untuk menyingkirkan para pemimpin angkatan darat dilakukan pada saat yang tidak tepat, yaitu menjelang peringatan hari kelahiran TNI 5 Oktober 1965, di mana pada akhir September itu hampir seluruh kekuatan utama TNI khususnya Angkatan Darat dari seluruh Indonesia sudah berkumpul di Jakarta.

Ketika PKI melancarkan kudeta militer terhadap pimpinan Angkatan Darat, jumlah besar pasukan TNI yang terkonsentrasi di Jakarta sudah dalam kondisi siap tempur, menunggu komando dari pimpinan. Kekosongan pimpinan TNI – AD akibat kudeta PKI, hanya berlangsung singkat, tidak lebih 1×24 jam. Jenderal Suharto berhasil menyingkirkan Pranoto, jenderal yunior tanpa pengalaman tempur, yang ditunjuk Sukarno sebagai pimpinan sementara Angkatan Darat.

Luput dari pemikiran banyak pihak, pengalaman Jenderal Suharto sebagai Panglima Operasi Mandala Penaklukan Papua, meskipun gagal total, namun memberi pengalaman dan kemampuan pada Jenderal Suharto dalam memobilisasi pasukan besar dari ketiga matra militer. Dalam hal skala, sejak Indonesia merdeka, tidak ada operasi militer yang besarnya, baik dalam hal jumlah pasukan mau pun dari segi persenjataan yang dikerahkan, dapat melebihi skala Operasi Trikora, di mana Jenderal Suharto sebagai Panglima Operasi.

Pengalaman memobilisasi pasukan besar, lintas matra, pengelolaan persenjataan dan logistik, yang dimiliki Jenderal Suharto menjadi sangat efektif ketika pada awal Oktober 1965, sebagian besar kekuatan utama dan inti TNI sedang terkonsentrasi di Jakarta. Sebuah kebetulan yang sangat menguntungkan dalam penumpasan komunis pasca kudeta berdarah 30 September 1965.

Bahwa Jenderal Suharto tidak segera menjalin kontak dengan pihak Amerika setelah terjadi kudeta 30 September 1965, menempatkan posisi Amerika dalam ketidakpastian karena harus menunggu sampai lima hari, sebelum kontak pertama antara Kedubes Amerika – CIA dengan Jenderal Suharto terjadi pada 5 Oktober 1965.


Bangkit dari Puing Reruntuhan 1965-1968
‘Orde Baru’ seperti yang dilakukan oleh pemerintahan Suharto sendiri, merupakan perubahan mendasar arah kehidupan politik Indonesia. Sebagai ganti politik dan kebijakan petualangan politik Sukarno, Soeharto mengadopsi pendekatan pragmatis untuk masalah Indonesia.

Dalam urusan luar negeri, ini berarti kebijakan tidak berpihak yang condong ke Barat dan memupuk harapan bahwa Djakart suatu hari nanti dapat mengambil peran regional yang lebih kuat. Itu juga berarti bahwa selama beberapa tahun ke depanpemerintah akan sibuk dengan urusan domestik – di atas segalanya, masalah-masalah ekonomi Indonesia luar biasa.


Situasi Politik
Pemerintahan Suharto menbawa Indonesia dengan kepemimpinan relatif moderat. Meskipun tentara merupakan basis kekuatan pemerintah, Suharto mempraktekkan gaya tradisional Indonesia: politik konsensus.

Dengan demikian, ia telah mengambil tanggung jawab untuk mengasosiasikan politisi sipil dan intelektual dengan tanggung jawab pemerintahannya. Dalam perombakan kabinet pada Juni 1968, sejumlah ekonom sipil tamatan di Barat diberi peran kunci dalam perumusan rencana lima tahun untuk pembangunan ekonomi (Repelita).

Kesan kabinet yang moderat ini semakin bertambah dengan penunjukan Adam Malik. Kehadiran Menteri Luar Negeri Adam Malik di Kabinet Suharto telah meningkatkan citra pemerintah di depan publik dan membuatnya lebih bisa diterima oleh mereka yang menentang pemerintahan militer.
Pemerintah Suharto juga berkomitmen untuk menyelenggarakan pemilu nasional pada tahun 1971 dan telah menunjukkan berbagai persiapan ke arah itu.

Sifat pemilihan ini masih belum jelas. Agaknya mereka akan memilih setidaknya sebagian dari anggota MPRS dan Parlemen; anggota badan yang hadir saat ini memegang jabatanatau dasar pengangkatan oleh Suharto. Pemilu tidak mungkin mempengaruhi status Suharto, yang dipilih oleh MPR di Indonesia pada bulan Maret 1968 untuk masa jabatan lima tahun sebagai Presiden.

Kekuatan dan kelemahan pemerintah mencerminkan sosok pribadi Jenderal Suharto sendiri. Selama proses pembersihan “Orde Lama” legacy Soekarno, Soeharto memberikan wewenang dan stabilitas yang sangat dibutuhkan. Namun demikian, kelambatan langkahnya dalam penumpasan komunisme/PKI, dulu dan sekarang telah memancing ketidaksabaran dan kritik, bahkan di kalangan pendukung utamanya sendiri.

Karakter Suharto yang tenang, tidak mengumbar perasaan, keenggannya melakukan penghinaan terhadap Soekarno, membawanya kehilangan daya tarik apa pun terhadap emosi rakyat.

Ketidakmampuannya menarik popularitas, dengan cepat menurunkan antusiasme rakyat, yang dapat menyulitkan pemerintahnya untuk menangani masalah besar yang dihadapi negara secara cepat.

Dalam hal ini, perbedaan dan ketidakpuasan di kalangan militer terhadap kepemimpinan Suharto cenderung meningkat dan akhirnya bisa menghambat koordinasi yang efektif dan implementasi program nasional. Juga tidak bisa dikesampingkan kemungkinan persekongkolan politik di kalangan militer atau upaya komandan militer di daerah untuk menuntut kekuasaan lebih besar dari Jakarta.

Tidak ada bukti perpecahan serius dalam kepemimpinan militer atau tertarik pada kudeta, tetapi para pemimpin tertinggi akan tetap waspada terhadap sejumlah perwira muda yang lebih militan.

Oposisi politik penentang terhadap pemerintahan Suharto belum besar. Sebagian besar unsur-unsur politik telah mengartikulasikan bersedia menunggu dan melihat apa yang bisa dicapai rezim. Sebuah kekuatan yang berpotensi mengganggu adalah generasi muda para aktivis politik yang nafsu perlawanan politiknya dibangkitkan selama kampanye melawan Soekarno.

Pemerintahan telah cukup responsif terhadap tuntutan mereka, bahkan pemberian posisi sebagai anggota MPRS kepada para aktivis mahasiswa yang mendukung “Supersemar” adalah sebagian dari kompensasi atas partisipasi mereka. Sekarang, para aktivis mahasiswa relatif diam, setidaknya sementara ini tidak ada isu menarik yang bisa memaksa mereka turun ke jalan. Namun demikian, mereka ini kolaborator potensial dari perwira militer yang lebih militan, yang berbagi ketidaksabaran mereka pada kelambanan pemerintahan Suharto.



Stabilitas dan Kontiniutas Pemerintahan Suharto
Menurut Konstitusi Indonesia 1945, MPR(S) memiliki kekuasaan untuk menentukan garis besar kebijakan nasional (GBHN), memilih Presiden dan Wakil Presiden dan untuk mengamandemen Konstitusi.

Sedangkan Parlemen, berada di bawah MPR(S) nemiliki tanggung jawab untuk memberlakukan undang-undang. Anggotanya adalah secara otomatis anggota MPR(S).  Partai-partai politik secara hukum juga telah dinetralkan sebagian oleh ketergantungan mereka kepada pemerintah untuk patronase. Elemen partai yang tidak bersahabat adalah sayap kiri Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang telah setidaknya ditekan sementara, dan Muslim tradisionalis di Partai Ulama Muslim (NU) yang tidak senang dengan trend sekuler yang dibangun rezim Suharto.

Pada saat ini orang Kristen (Katolik/Protesan) bersama kelompok aliran kepercayaan Jawa (Kejawen) dan Islam Abangan memiliki peran besar yang tidak proporsional dalam pemerintahan, birokrasi dan TNI. Posisi-posisi strategis di pemerintahan, birokrasi, TNI dan perusahaan negara hampir semua dikuasai kelompok yang menjadi sekutu Jenderal Suharto dalam membangun pemerintahannya ini (Katolik, Protestan, Kejawen, Abangan).

Sikap permusuhan Indonesia dengan RRC sebagai dampak keterlibatan China dalam kudeta PKI yang gagal, tidak serta merta menjadikan kelompok etnis Cina Indonesia sebagai musuh pemerintahan Suharto. Kelompok Cina Indonesia yang mayoritas terlibat dan mendukung PKI melalui Baperki, dirangkul Jenderal Suharto setelah lebih dulu menangkap para tokoh dan pimpinan Baperki.

Suharto menyadari kebutuhan partisipasi China Indonesia dalam pemerintahannya, namun semua itu dilakukan secara hati-hati dan tertutup. Suharto memerlukan Cina Indonesia sebagai mitra pemerintah terutama dalam menggerakkan ekonomi sektor swasta dan membantu pemerintah menjalankan program-program ekonomi. Perhatian dan dukungan Pemerintahan Suharto kepada kelompok Cina Indonesia harus dibingkai dalam kemitraan rahasia. Pengungkapan secara terbuka, kemungkinan besar akan mendapat reaksi keras dari mayoritas muslim. Sementara itu, pemerintahan Suharto terus menjalankan program pengawasan kepada kelompok Cina Indonesia sebagai kedok sempurna untuk menutup kerjasama dan kemitraan pemerintah Suharto dengan Cina Indonesia yang berlangsung di balik layar.



Penyingkiran Politisi Islam dan Nasionalis
Suharto membangun pemerintahan yang solid tanpa melibatkan semua kekuatan besar politik yang selama 20 tahun menjadi pemain utama di politik dan pemerintahan: PNI, PNU, Masyumi dan PKI.

Partai-partai kecil di luar empat partai terbesar itu ini tidak punya banyak pilihan selain bergabung dengan pemerintah untuk saat ini. Mereka terlalu lemah dan terpecah belah. Tekanan untuk mengembalikan sistem parlementer yang liberal meredup karena sudah terbukti sangat melemahkan dan melelahkan sejak awal kemerdekaan hingga tahun 1950-an.

Pemerintah Suharto telah memenuhi janjinya merestrukturisasi sistem kepartaian, dengan tujuan ganda: menyediakan basis politik untuk dirinya sendiri dan membuka saluran yang konstruktif untuk menjadi kader partai bagi elemen sipil yang saat ini tidak terorganisir sebagai muslim modernis. Suharto secara sistematis menyingkirkan politisi nasionalis dan politisi islam, serta membangun kekuatan politik baru dengan TNI-AD sebagai unsur utama dan kelompok non muslim – non nasionalis sebagai mitra.


Sejauh ini, kemajuan telah terjadi ke arah itu. Bahkan, penasihat militer Suharto tampaknya membujuknya untuk memblokir penunjukan ketua baru Partai Muslim Indonesia (PMI), sehingga memicu kebencian yang cukup besar di kalangan Muslim moderat dan muslim modern terhadap rezim Suharto.


Tantangan Jangka Panjang Pemerintahan Suharto
Kaum Komunis Indonesia saat ini tidak dianggap ancaman serius kepada pemerintah. PKI hancur setelah percobaan kudeta Oktober 1965, dan mereka telah menderita kemunduran besar sejak saat itu.

Selama musim panas 1968, tentara menyapu bersih pemberontakan komunis di Jawa Timur dan menewaskan atau menangkap sebagian besar dari kepemimpinan PKI yang berorientasi Maois.

Meskipun Pemerintah Soeharto telah membersihkan unsur komunis dan Sukarnois dari angkatan bersenjata, terutama di angkatan udara dan kepolisian, namun dari eksposur pimpinan angkatan bersenjata yang terbaru menunjukan belum sepenuhnya dapat dibersihkan Suharto.

Bahaya jangka panjang terletak pada kondisi sosial dan ekonomi yang memungkinkan PKI membangun kekuatan yang kuat seperti sebelum 1965. Kondisi sosial ekonomi yang buruk dan kesulitan yang dihadapi rakyat akan memberikan banyak masalah untuk dieksploitasi; dengan demikian, akan terlalu dini untuk menganggap PKI sebagai faktor yang tidak penting. Selain itu, potensinya akan meningkat secara signifikan jika pemimpin baru muncul dan mampu menghidupkan kembali aliansi dengan kaum kiri di PNI dan dengan mantan Sukarnois lainnya.

Jika dalam jangka panjang upaya pemerintah saat ini yang fokus pada pembangunan ekonomi ternyata benar-benar goyah, maka gerakan nasionalis radikal bisa mengembangkan massa dan mendukung aksi kudeta sekali lagi di Indonesia. Sekarang tidak ada kekuatan di Indonesia yang dapat secara efektif menantangposisi tentara, terlepas dari kenyataan bahwa Suharto pemerintah menggunakan tangan yang cukup ringan dalam memegang instrumen kekuasaan. Selama tiga sampai lima tahun ke depan, sepertinya tidak mungkin ancaman terhadap keamanan internal Indonesia akan berkembang dan tidak mungkin tentara tidak bisa menahan dan menumpas semua ancaman itu.

Tentara dipimpin Suharto -hampir pasti memegang kendali pemerintah selama periode ini. Pimpinan tentara akan berusaha menjaga politik agar tetap tenang dan memusatkan energi pemerintah pada penyelesaian masalah ekonomi luar biasa yang dihadapi negara.

Beberapa tahun ke depan akan menjadi momen penting dalam menilai apakah pemerintahan Suharto dapat memerintah secara efektif.


Masalah Pemerintahan dan Sosial
Bahkan pada masa stabilitas politik, efektivitas pemerintah akan terhambat oleh kekurangan pada birokrasi Indonesia. Tidak ada yang tahu persis berapa banyak pegawai negeri yang ada; angkanya pasti melebihi satu juta, dengan satu hingga dua juta dipekerjakan oleh perusahaan negara. Skala gaji yang sangat rendah dan hubungan luas antara birokrasi, partai politik, dan kelompok pemburu rente lainnya telah membuat cangkokan katalis utama untuk tindakan birokrasi.

Karena upaya masif untuk merasionalisasi birokrasi akan mengancam kehidupan banyak orang, Pemerintah Indonesia tidak dapat dengan mudah atau cepat mengubah situasi.

Soeharto telah mengatasi sebagian masalah birokrasi sipil di Indonesia
dengan menempatkan perwira militer di posisi kunci di seluruh
struktur administrasi dan birokrasi. Angkatan Darat adalah institusi yang paling kohesif dan berorientasi nasional di Indonesia; karenanya, ini adalah solusi terbaik yang tersedia sebagai instrumen untuk tugas besar modernisasi.

Sejak kemerdekaan, sudah lebih dari 20 tahun keterlibatan aktif dalam urusan sipil, kepemimpinan tentara memiliki rasa misi nasional yang umumnya melampaui etnis, agama, dan geografis yang selama ini menjadi kendala dalam mempersatukan bangsa Indonesia. Korps perwira relatif berpendidikan tinggi dan dii bawah komando yang kuat, bisa menjadi kekuatan efektif untuk modernisasi dan reformasi.

Namun demikian, ada keterbatasan besad pada kemampuan militer dalam mengelola kebijakan pemerintah secara efektif. Keterbatasan ini tidak khusus dialamai tentara sendiri, tetapi lebih dari itu, adalah fungsi dari fakta budaya dan fisik dari kehidupan Indonesia.

Masalah dasar jarak antara Jakarta dan provinsi sekitarnya diperbesar oleh sistem transportasi dan komunikasi yang sangat tidak memadai.

Bahkan jika yang terakhir (transportasi – komunikasi) direhabilitasi selama beberapa tahun ke depan, pemerintah pusat di Jawa akan tetap kekurangan sumber daya dan kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan dari luar pulau Jawa. Akibatnya struktur administrasi pemerintah, sementara ini hanya sangat terpusat dalam teori, namun memiliki cukup banyak penguasa de fakto di daerah dan otonomi lokal.

Kecuali untuk kesatuan dan disiplin yang dimiliki tentara di mana struktur komando sudah tersedia, kebijakan pemerintah pusat gagal mencengkeram atau mempengaruhi kehidupan rakyat di daerah, terutama di luar Jawa, misalnya jutaan pekerja perkebunan karet di Sumatra, pedagang kecil Islam di pasar-pasar di Jawa Tengah, atau pengusaha kerajinan kecil di Bali.

Inefisiensi pemerintah hanya berfungsi untuk memperkuat kecenderungan nepotisme, kolusi dan korupsi, yang bergantung pada hubungan pribadi untuk mendapatkan penyelesaian sesuatu.

Kekurangan besar pemerintah Indonesia yang menjadi hambatan utama mewujudkan pemerintahan efektif adalah budaya Indonesia itu sendiri, yang paling dominan di antaranya adalah kebudayaan Jawa. Nilai-nilai budaya menghambat penerapan berbagai jenis disiplin sosial, di mana disiplin sosial ini adalah karakteristik yang harus dimiliki sebuah bangsa yang ingin maju, sebagaimana dimiliki negara-negara seperti Jepang, Taiwan, Korea, Eropa, dan Amerika Utara. Bahkan para anggota Kabinet dan elit pemerintahan yang umumnya sarjana lulusan Barat, enggan menerapkan bentuk sederhana dari penegakkan disiplin untuk menghukum stafnya sendiri. Mereka mengalah dengan menyesuaikan diri dan mengubah cara mereka dalam melakukan sesuatu.

Sedikit sekali institusi yang didisiplinkan oleh aturan perilaku impersonal. Akibatnya korupsi di Indonesia berkembang pesat merebak di seluruh birokrasi pemerintahan. Tidak ada penegakkan hukum terhadap pelaku korupsi.


Keberhasilan Suharto Mengatasi Masalah Ekonomi
Kondisi ekonomi Indonesia sangat bobrok merupakan warisan dua dekade pemerintahan sebelumnya, terutama 10 tahun di bawah kepemimpinan Sukarno yang tidak peduli dengan ekonomi negara dan kesejahteraan rakyatnya. Kesalahan urus, kelalaian dan pembiaran menyebabkan seluruh sektor ekonomi negara rusak parah, pertanian tidak efisien; sektor industri tetap masih kecil dan terbelakang, sektor komunikasi dan layanan publik berantakan.



Orang Indonesia hidup dalam kemiskinan, mayoritas di pedesaan dengan tingkat kemiskinan ekstrim dan sebagian besar terisolasi dari pasar dan perputaran ekonomi dan uang.

Pada tingkat populasi sekarang 115 juta, akan berlipat ganda dalam 20 tahun mendatang, masalah kepadatan dan kemiskinan ekstrim sangat akut terutama di Jawa, di mana sekitar dua pertiga orang Indonesia tinggal. Standar hidup rata-rata orang Indonesia sekarang lebih rendah daripada masa di awal dari Perang Dunia Kedua. Tetapi, sejak pemerintahan diambilalih Jenderal Suharto terjadi perubaah sangat signifikan hanya dalam beberapa tahun terakhir. Ekonomi Indonesia telah mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan.

Dengan bantuan dan bimbingan dari negara-negara industri Barat, pemerintahan Suharto telah menghilangkan masalah korosif inflasi. Tingkat inflasi saat ini 2% per bulan memang belum memuaskan, tetapi ini adalah pencapaian substansial dibandingkan dengan inflasi tahun-tahun sebelumnya pada masa Sukarno yang mencatat 600% per tahun.

Kekurangan makanan dan ancaman bahaya kelaparan telah diatasi pemerintah Suharto. Khusus ketersediaan beras, telah menjadi faktor kunci dalam menyebabkan inflasi. Bantuan Barat yang memasok beras dalam jumlah besar dan bahan makanan lainnya, reorganisasi pengadaan beras Pemerintah Indonesia dan sistem distribusi, telah memainkan peran yang menentukan dalam mengurangi ancaman bahaya kelaparan secara signifikan.

Indonesia akan membutuhkan penggunaan pupuk jauh lebih besar, Pestisida dan strain benih baru, serta peningkatan fasilitas irigasi, jika ingin meningkatkan produksi pangan untuk memenuhi tuntutan melonjaknya populasi. Peningkatan swasembada beras sangat penting untuk mengatasi inflasi.

Pengeluaran pemerintah juga merupakan penyebab utama inflasi. Atas desakan Dana Moneter Internasional, tim Suharto yang Ekonom lulusan Barat telah memperketat kontrol administratif anggaran. Subsidi untuk barang-barang konsumsi tertentu seperti minyak tanah, bensin, listrik, dan transportasi umum telah dipotong; penerimaan pajak telah diperbaiki; dan jumlah pegawai negara setidaknya di Garuda Indonesian Airways telah dipangkas.

Langkah-langkah ini tentu saja tidak populer, tetapi Suharto telah melakukan banyak hal yang konstruktif.

Masalah ekonomi besar kedua yang dihadapi Indonesia adalah kebutuhan investasi. Hanya sedikit modal domestik swasta di Indonesia, bahkan dibandingkan dengan negara miskin lainnya. Banyak modal ada tangan etnis Cina yang terkonsentrasi pada ekspor-impor, perdagangan grosir-eceran. Karena anti Cina yang meluas, orang Cina umumnya tidak ingin membuat investasi baru dan jangka panjang, khususnya di bidang-bidang usaha mana mereka belum mapan dan kuasai.

Bagian penting dari program ekonomi pemerintah Suharto adalah menyambut modal asing kembali ke Indonesia. Sudah sekitar 25 perusahaan Amerika dan Eropa yang telah memulihkan kendali tambang, perkebunan, dan perusahaan lain yang dinasionalisasi oleh Sukarno.

 

Pendukung Jokowi Meradang Akibat Publikasi Hasil Polling Google: 87% Rakyat Indonesia Menolak Jokowi Dua Periode

Segala cara telah dan terus ditempuh kubu Jokowi untuk menutup dan menghentikan berbagai fakta, berita, informasi yang dinilai merugikan kepentingan Jokowi, khususnya yang dapat menyebabkan kekalahannya dalam pilpres 2019.

Hasil sebuah polling pasti selalu menimbulkan pro kontra, suka-benci, senang-sedih dan seterusnya. Ada kalanya, pihak tertentu sulit menerima kenyataan meski sudah terpampang jelas di depan mata. Berusaha untuk lari dari kenyataan, membantah fakta dan realita, bersembunyi dari kebenaran. Reaksi yang timbul dari sebuah polling atau jajak pendapat seharusnya konstruktif, dalam arti bahwa hasil polling menjadi masukan bagi pihak terkait sebagai parameter, bahan analisa dan evaluasi, atau sebagai dasar pertimbangan mengambil keputusan.

Polling Google yang diselenggarakan mulai 28 Maret 2018 lalu misalnya, tidak seharusnya malah menjadi motifasi para pendukung Jokowi bertindak destruktif: Menyerang siapa saja yang mempublikasikan hasil polling google itu, berusaha mengirim virus, menyabot atau membajak akun atau situs, membuat kisah fiktif dalam upaya membantah dan menolak kenyataan.
Satu hal yang sudah pasti adalah penghentian penyelenggaraan polling yang dilansir Google. Polling direncanakan berlangsung dari 28 Maret hingga 20 April 2018 atau selama 23 hari, mendadak dihentikan tanpa penjelasan oleh Google pada tanggal 3 April atau 20 hari lebih awal dari jadwal semula.
Tidak ada penjelasan dari pihak Google menyebabkan dugaan dan analisa publik berkembang sesuai dengan pikiran masing-masing. Mayoritas publik yakin penghentian mendadak lebih cepat dari rencana, pasti disebabkan hasil sementara Polling yang sangat menunjukan lebih 87% responden Google menolak Jokowi memangku jabatan presiden dua periode.
36 ribu dari 41 ribu responden memilih Jokowi tidak perlu menjadi presiden lagi setelah periodeisasi pertama selesai.
Hanya 5 ribu responden yang menginginkan Jokowi menjabat presiden dua periode.
Pendapat mayoritas responden google ini tidak jauh beda dengan pendapat masyarakat yang mudah ditemukan sehari-hari. Dari perbicangan para karyawan di kantor, diskusi mahasiswa di kampus-kampus, obrolan di kedai kopi atau warung tegal, atau percakapan pengendara gojek dengan penumpang, dapat disimpulkan mayoritas sepakat Jokowi cukup satu periode: 1 periode cukup, 2 periode jangan.
Jika demikian adanya, lalu mengapa Google tiba-tiba menghentikan polling menarik itu? Tentu saja ada pihak terkait yang karena kekuasaan dan uangnya mampu memaksa Google menghentikan polling yang dinilai merugikan citra dan memupus peluang Presiden Jokowi untuk tampil sebagai pemenang di Pilpres 2019.
Lalu, bagaimana sebaiknya rakyat menyikapi respon emosional dari kubu Jokowi terhadap Polling Google? Menurut saya, pertama harus diketahui apakah Jokowi sebagai pihak paling berkepentingan atas polling google itu tahu atau tidak mengenai pemberhentian polling yang merupakan tindakan memalukan itu?
Jika Jokowi tidak tahu, anggap saja penghentian polling dilakukan oleh orang-orang Jokowi yang dipastikan bermental penjilat, memegang prinsip ABS (asal bapak senang), menutup mata Jokowi dari aspirasi rakyat yang sebenarnya. Dalam hal ini, rakyat harus menempatkan Jokowi sebagai korban dari penipuan para stafnya.
Namun, jika diketahui bahwa penghentian itu sudah sepengetahuan dan persetujuan Jokowi, maka hasil polling google itu benar-benar relevan untuk dipertimbangkan: bahwa Jokowi memang tidak diinginkan rakyat menjadi presiden lagi. Satu periode sudah lebih dari cukup !
Terlebih jika Jokowi sendiri yang meminta polling itu dihentikan mendadak karena takut menyebar luas dan menutup peluangnya dapat jadi presiden dua periode. Jika begitu adanya, maka rakyat sah berkesimpulan, Jokowi benar-benar tidak tahu malu dan tidak tahu diri.
Sebuah jajak pendapat (polling) dilakukan di Google Polling (http://www.googlevote.gdn).
Google mengajukan pernyataan dan pertanyaan kepada responden swbagai berikut:
“Presiden Joko Widodo disebut berhasil membawa kemajuan bagi Indonesia dan dinyatakan sangat layak untuk memimpin RI 2019-2024. Bagaimana tanggapan anda?”
Sampai hari Senin (2/4/2018) pukul 17.12 WIB menunjukan mayoritas warganet TIDAK SETUJU JOKOWI 2 PERIODE.
Dari 41.275 responden yang telah memberikan suara, sebanyak 87% (36.039) menyatakan Sangat Tidak Setuju Jokowi memimpin RI lagi di 2019-2024. Sedangkan mereka yang setuju hanya sejumlah 13% atau sekitar 5.236 responden.
Polling yang dimulai 28 Maret ini akan ditutup pada 20 April 2018. (Google)
Berikut polling tersebut;
http://www.googlevote.gdn/2018/03/joko-widodo-dianggap-layak-memimpin.html
Hasil sementara polling Google itu ternyata membuat kalangan istana panik. Diduga kepanikan pejabat tinggi di sekeliling Presiden Jokowi yang menyebabkan polling Google tidak dapat lagi diakses sejak tanggal 3 April 2018 lalu.
Hasil sementara Polling Google terakhir kali dapat dilihat pukul 11.17 WIB (3/4/2018) yang mencatat 58.516 responden. Sebanyak 53.249 responden atau 91% memilih TIDAK SETUJU Jokowi memimpin RI kembali untuk periode 2019-2024. Hanya 9% (5267) responden atau yang menyatakan SETUJU.

“Kebenaran itu menemukan jalannya sendiri”