Dari Singapura mantan Presiden SBY melempar gagasan untuk segera membuka ruang dialog antara kubu kontestan Pilpres 2019 guna meredakan polarisasi di antara masyarakat Indonesia, meluruhkan ketegangan, mengatasi perbedaan pendapat dan pandangan pasca pelaksanaan pemilu 17 April 2019.
Gagasan SBY ini sepintas lalu terkesan arif bijaksana. Namun, jika ditelaah lebih dalam dan cermat, gagasan SBY terasa aneh, tidak substansial, melenceng jauh dari fakta sebenarnya terkait akar masalah.
Polarisasi tajam masyarakat di masyarakat pasca pemilu memang benar terjadi dan tidak mengejutkan semua pihak. Fakta bahwa di seluruh daerah pemilihan (dapil) mayoritas pemilih Islam (muslim) paslon Prabowo – Sandiaga Uno meraih kemenangan. Sebaliknya, di dapil mayoritas pemilih non muslim paslon Jokowi – Maruf menang. Di TPS pecinan (kompleks hunian tionghoa) Jokowi pasti mengalahkan Prabowo secara telak. Diduga 95% pemilih tionghoa memilih Jokowi pada Pilpres 2019, sama seperti pilpres 2014.
Polarisasi tajam di tengah masyarakat Indonesia karena perbedaan pilihan kandidat pilpres adalah konsekwensi dari perilaku dan kebijakan rezim Jokowi.
Sikap diskriminasi pemerintah Jokowi terhadap Islam, fitnah dan penzaaliman terhadap ulama dan ormas Islam, penyebaran hoax , tudingan dan stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam Indonesia terjadi sejak awal Jokowi menjabat Gubernur Jakarta, makin intens selama menjabat presiden.
Penindasan terhadap Islam dan sebaliknya pembelaan vulgar dan demonstratif kepada non muslim khususnya tionghoa, membentuk polarisasi tajam di kalangan masyarakat Indonesia, setelah sebelumnya selama lima tahun di bawah pemerintahan Jokowi, rakyat Indonesia diadudomba, dipecahbelah, dihasut, diobok-obok oleh pemerintah Jokowi.
Umat Islam Indonesia merasa tidak ada manfaat kepemimpinan Jokowi, sebaliknya kedamaian, ketenangan, rasa aman dan kesempatan berusaha yang sebelumnya dinikmati, mendadak hilang selama era Jokowi. Hanya sebagian kelompok Islam seperti NU yang merasa diuntungkan oleh rezim Jokowi.
Kepemimpinan Jokowi menempatkan pribumi terutama umat Islam Indonesia berada pada posisi terbawah dalam strata sosial politik dan ekonomi Indonesia: Posisi yang pernah dialami umat Islam Indonesia pada masa kolonial Belanda, Era Orde Lama dan pada 20 tahun pertama era Orde Baru. Wajar jika timbul penolakan keras rakyat Indonesia terutama umat Islam terhadap Jokowi.
Perbedaan Pendapat Vs Pemilu Curang
Ajakan Ketum Partai Demokrat SBY agar kedua kubu membuka ruang dialog disambut dingin masyarakat luas terutama oleh kubu Prabowo. Ajakan SBY ini terasa seperti meminta kesediaan polisi berdialog dengan penjahat atau pemilik rumah diminta menjamu penjarah. Pemahaman rakyat dan kubu Prabowo mengenai permasalahan pasca pemilu berbeda – untuk tidak menyebutnya bertolak belakang, dengan pemahaman SBY yang di luar akal sehat.
Reaksi rakyat dan kubu Prabowo terhadap kencurangan pemilu bukanlah suatu perbedaan pendapat atau pandangan. Sikap yang ditunjukan rakyat terutama kubu Prabowo adalah protes, kritik, tuntutan, kecaman hingga permintaan kepada KPU untuk bersikap independen, jujur dan adil dengan memperbaiki kekeliruan – diduga unsur kesengajaan, mencegah pencurangan terus terjadi hingga desakan penghentian Situng, tuntutan proses hukum terhadap pelaku pencurangan pemilu dan audit terhadap KPU.
Jika KPU kemudian berkilah semua kesalahan fatal itu hanya human error (kesalahan manusia), SBY tidak bisa langsung menyederhanakan permasalahan dengan menyebutnya sebagai perbedaan pendapat atau beda pandagangan. Ini kejahatan serius terhadap pemilu dan ancaman terhadap demokrasi Indonesia.
Perilaku Presiden Jokowi yang terus menerus menyebarkan hoax kemenangan pilpres, pemberitaan mayoritas media mainstream yang selalu mengutip data Situng sekali pun sudah diketahui banyak kekeliruan dan upaya pelemahan – memecahbelah kubu Prabowo dengan iming-iming tawaran kursi menteri kabinet, dinilai rakyat dan kubu Prabowo sebagai tidak ada itikad baik dari Presiden Jokowi untuk mencari solusi kecurangan pilpres yang memang menguntungkan posisi politik Jokowi.
Posisi Politik SBY
Pernyataan SBY yang menganjurkan ruang dialog ketimbang pembenahan terhadap berbagai kecurangan pemilu yang merugikan palson Prabowo – Sandi, menguatkan dugaan bahwa posisi politik SBY dan Partai Demokrat (PD) sejatinya tidak bersama koalisi Prabowo. Keberadaan SBY dan PD di koalisi Prabowo hanyalah secara formal. Secara faktual SBY – PD mendukung Jokowi – Maruf meski pun tidak bersama koalisi partai pengusung Jokowi.
Penilaian mengenai posisi politik SBY dan PD pada pilpres 2019 yang diam-diam mendukung Jokowi – Maruf, tidak semata-mata didasarkan pada anjurannya kepada dua kubu untuk berdialog, melainkan dari manuver politik yang dilakukan SBY baik yang terlihat publik mau pun yang terjadi di balik layar.
Pada 2014, SBY mendorong besannya sendiri Hatta Rajasa untuk maju sebagai cawapres pendamping Prabowo. Tampilnya Hatta terbukti kemudian hanya sebagai kedok dan tirai penutup maksud SBY sebenarnya yakni memastikan kemenangan Jokowi dari belakang publik. Prabowo – Hatta kalah tipis di pilpres 2014 dari Jokowi.
Banyak terjadi kecurangan, namun semua kandas di MK yang majelis hakimnya merupakan orang-orang SBY dan PDIP. Pada pilpres 2014 SBY sukses besar mengecoh publik dan mengkhianati Prabowo – Hatta.
Hadiah kemenangan besar SBY menempatkan Jokowi sebagai Presiden RI 2014 – 2019 mengantarkan SBY tetap bertahan menjadi penguasa Indonesia di balik rezim Jokowi. Tanpa disadari rakyat, kabinet Jokowi didominasi orang-orang kepercayan SBY. Sebut saja misalnya Menko Ekonomi Darmin Nasution, Menkeu Sri Mulyani, Menlu Retno, Menkes Nila, sampai Kepala BNPT dan BNPB. Di luar pemerintahan, orang kepercayaan SBY menduduki pos Gubernur BI, Ketua OJK dan Ketua KPK. Tak heran banyak kalangan menjuluki rezim Jokowi sebagai rezim SBY jilid III.
Dominannya pengaruh SBY di pemerintahan dan di luar pemerintahan pada masa Jokowi ini, tidak mungkin dia peroleh jika Prabowo Hatta yang menang pilpres 2014. Sekali lagi, fakta ini membuktikan kehebatan SBY berpolitik jauh di atas para elit politik Indonesia.
Ambisi SBY adalah AHY Presiden 2024
Setelah mengetahui posisi politik SBY yang sebenarnya, publik menjadi paham mengapa sambutan dingin sebagai balasan dari ajakan berdialog yang dilontarkan SBY dari Singapura.
Publik akan semakin paham maksud dan tujuan SBY yang sebenarnya di balik ajakan berdialog itu, yakni menjerumuskan Prabowo kembali ke kekalahan pilpres seperti 2014. Keinginan kuat SBY mewujudkan kemenangan Jokowi sejalan dengan ambisi SBY menempatkan Agus Yudhohono (AHY) putra sulungnya sebagai presiden pada pilpres 2024 mendatang. Kemenangan Jokowi – Maruf berarti kelangsungan kekuasaan SBY di balik layar dan menutup peluang kandidat lain dapat memenangkan pilpres 2024 melawan AHY.
Pada 2024 nanti Jokowi sudah dua periode, Maruf Amin sudah sangat sepuh (83 tahun) dan tidak ada bakal capres yang lebih siap segalanya dibanding AHY. Beda halnya jika Prabowo menang pilpres. Meski Prabowo misalkan tidak berniat maju di pilpres 2024, pasti beliau menyiapkan suksesornya.
Belum lagi peluang Sandiaga Uno selalu wapres yang maju menjadi capres 2024, akan memiliki kans terbesar menang pilpres. Itu artinya kiamat bagi ambisi politik SBY.
Uraian singkat ini dapat menjadi tambahan bahan analisa dan pemikiran publik bahwa fenomena banyaknya kecurangan pemilu yang semua menguntungkan suara Jokowi, tidak terlepas dari peran besar SBY atau setidak-tidaknya ada keterlibatan SBY.
Terkait pencurangan masif pemilu, yang dibutuhkan rakyat adalah proses hukum terhadap para pelaku kecurangan dan kejahatan pemilu serta perbaikan hasil pilpres yang dapat menjamin tegaknya kedaulatan rakyat, bukan ajakan berdialog dari SBY yang arah dan tujuannya sudah dapat diprediksi, yakni mengamankan segala kecurangan demi memenangkan Jokowi di Pilpres 2019.
Primus Inter Pares
Di antara banyak tokoh yang berjasa besar atas terpilihnya Jokowi sebagai presiden melalui Pilpres 2014, SBY adalah tokoh paling berjasa dan paling penting peranannya dalam mengantarkan Jokowi menjadi Presiden RI 2014-2019. Tak dapat disangkal kesuksesan Presiden SBY saat itu harus mengorbankan Hatta Rajasa besannya sendiri yang menjadi cawapres pendamping Prabowo.
Secara politis, SBY dapat berkilah bahwa dia tidak pernah mengkhianati Prabowo – Hatta pada 2014 karena secara resmi baik SBY maupun Partai Demokrat tidak menjadi partai pengusung atau pendukung Prabowo. Mengenai persepsi publik atau anggapan banyak orang bahwa SBY – Demokrat adalah pendukung Prabowo – Hatta atas dasar keterlibatan banyak kader PD di Koalisi Merah Putih (KMP) atau isyarat-isyarat politik yang ditunjukan SBY di depan publik, bagi SBY hal di luar kuasanya. Namun, secara moral dukungan luar biasa dari SBY selaku presiden dalam memenangkan Jokowi (secara diam-diam) pada 2014 adalah pengkhianatan besar terhadap Prabowo-Hatta.
Sebagai kontributor keberhasilan Jokowi menjadi presiden 2014-2019, posisi SBY di antara tokoh yang berada di ring satu Jokowi menjadi istimewa di banding yang lain. Sudah jadi rahasia publik bahwa sosok Jenderal Purn Hendropriono diyakini sebagai tokoh pertama yang menemukan, merekrut Jokowi pada tahun 2006 saat Jokowi baru menjabat sebagai Walikota Surakarta. Di samping itu ada sosok Jenderal Luhut Binsar Panjaitan sebagai mentor utama Jokowi dan penyandang dana di masa awal pembentukan citra dan penggenjotan popularitas Jokowi 2007-2011. Di antara Hendropriono dan LB Panjaitan, SBY dapat disebut sebagai Primus Inter Pares (tokoh utama di antara yang sederajat), sebuah posisi yang memungkinkan SBY mendapat lebih besar konsesi politik dari Presiden Jokowi ketimbang Hendropriono dan LB Panjaitan.
Pertaruhan Politik SBY – AHY 2024
Dalam rangka mewujudkan rencana SBY menempatkan AHY sebagai Presiden 2024-2029, pilihan terbaik SBY adalah dengan mendukung penuh Jokowi – Maruf di Pilpres 2019. Mengenai strategi SBY yang secara resmi menyatakan mendukung Prabowo-Sandiaga Uno itu adalah masalah bagi Prabowo dan koalisi partai pengusungnya (PKS – PAN – Gerindra): untuk memastikan apakah dukungan SBY – Demokrat tulus atau brutus.
Mengingat rekam jejak SBY yang selalu mengkhianati Prabowo sejak 1998 dan terakhir di Pilkada 2018, Seharusnya sejak awal Prabowo berani secara tegas menyampaikan penolakannya atas keinginan SBY – Partai Demokrat bergabung dalam koalisi.
Sekarang sudah terlambat bagi Prabowo dan BPN mengecam SBY-Partai Demokrat atas berbagai manuver SBY-AHY lebih banyak merugikan koalisi.
Terlihat jelas upaya SBY mengamankan hasil pilpres 2019 yang sudah dimanipulasi untuk memenangkan Jokowi. Terlihat jelas, upaya SBY melemahkan internal koalisi dan gencar menyudutkan posisi Prabowo di mata publik. Langkah SBY ini tentu saja riskan mengingat Prabowo masih berpeluang besar menjadi pemenang Pilpres 2019. Jika hal ini terjadi, sangat mungkin SBY – AHY harus mengubur impiannya pada pilpres 2024.
Pencurangan Pemilu 2019
Prediksi tentang Pemilu 2019 bakal sarat dengan kecurangan sebenarnya sudah bergema sejak 2015 ketika Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2015 tentang KPK.
Melalui PERPPU itu tercium rencana penguasa menunggangi KPK dengan merekayasa periodesasi pimpinan KPK hingga tahun 2019. Konsekwenainya, masa jabatan pimpinan KPK yang seharusnya 2014-2018 dimundurkan menjadi 2015-2019 atau baru berakhir setelah penyelenggaran pemilu 2019 usai.
Di samping periodesasi pimpinan KPK yang dimundurkan setahun, syarat untuk menjadi pimpinan KPK juga direvisi melalui PERPPU tersebut. Capim KPK tidak lagi harus seorang sarjana hukum dan berusia maksimal 60 tahun. Mudah ditebak kemana maksud PERPPU ini diterbitkan: Penempatan figur-figur khusus yang sudah dipersiapkan sebelumnya untuk menjadi pimpinan KPK. Proses seleksi capim KPK pun menjadi hanya sekedar formalitas belaka.
Dalam proses seleksi calon pimpinan KPK yang sudah diskenariokan akan menghasilkan para kandidat ‘titipan’ itu, ternyata terjadi kejutan di mana muncul satu peserta seleksi capim KPK yang sangat menonjol dari hasil test yang diselenggarankan pansel KPK. Tokoh yang di luar perhitungan ini bernama Nina Nurlina Purnomo yang saat itu menjabat Direktur Pertamina Foundation.
Hasil fit and proper test Nina yang terbaik dalam seleksi capim KPK 2015-2019 mengungguli peserta test lain yang sudah digadang-gadanv sebagai ‘proksi’ elit penguasa di KPK: Basaria Panjaitan, Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Johan Budi.
Nina Nurlina akhirnya harus terdepak dari proses seleksi akhir yaitu pemilihan oleh Komisi III DPR, karena secara tiba-tiba Nina ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Bareskrim Polri. Nina pun terpaksa mundur dari proses seleksi dan harus menghadapi sangkaan korupsi oleh penyidik Bareskrim.
PERPPU No.1/2015 tentang KPK akhirnya berhasil mewujudkan rencana elit penguasa di balik Jokowi: SBY, LBP dan CSIS untuk menjadi pengendali KPK selama 4 tahun ke depan.
Komisi III DPR memutuskan memilih Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Saut Situmorang, Alexander Mawarta dan Johan Budi selaku pimpinan KPK 2015-2019. Namun, menjelang pengumuman nama-nama pimpinan KPK terpilih, mendadak Johan Budi harus digeser dan diganti dengan M Laode M Syarif, atas permintaan khusus Wapres Jusuf Kalla.
Ternyata Wapres JK membaca kemana arah KPK mendatang jika kelima pimpinan terpilih tidak satu pun dapat dinilai sebagai representasi umat Islam selaku kelompok mayoritas di Indonesia.
Agus Rahardjo adalah Kepala LPJK pada era Presiden SBY dan dinilai banyak pihak, terlibat dalam kisruh dan carut marut proyek EKTP. Agus yang kemudian terpilih menjadi Ketua KPK 2015-2019 tak pelak lagi adalah seorang proksi SBY.
Basaria Panjaitan dan Saut Situmorang adalah proksi Luhut Binsar Panjaitan. Meski Basaria berlatar belakang polri namun keberadaannya di KPK adalah atas endorsement Luhut. Hal sama pada Saut Situmorang, staf khusus Kepala BIN yang pernah menjadi anak buah Luhut ketika menjabat Dubes RI untuk Singapura. Saut bahkan secara terbuka mengaku di depan Komisi III DPR bahwa dia mengikuti fit and proper test capim KPK atas perintah LBP.
Alexander Mawarta adalah hakim Tipikor non karir yang diendors oleh CSIS sebagai pimpinan KPK. Dan terakhir adalah Laode M Syarif pengganti Johan Budi, adalah figur yang dipilih langsung oleh Wapres JK karena posisinya yang masih berada di delapan besar berdasarkan hasil fit and proper test pansel KPK.
Dari 5 pimpinan KPK 2015-2019 hanya dua orang yang bergelar sarjana hukum: Alex dan Laode. Bahkan Laode lebih merupakan pakar hukum lingkungan, bukan hukum pidana apalagi pidana korupsi.
Semua ini dimungkinkan karena PERPPU No.1/2015 tentang KPK yang sebenarnya inkonstitusional karena tidak memenuhi prasyarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, sebagaimana diharuskan UUD 1945.
Pelaksana Tugas Sementara Pimpinan KPK 2014-2015
Konsekwensi dari PERPPU No.1 /2015 tentang KPK adalah ditunjukannya Pelaksana Tugas Sementara (Plt) Pimpinan KPK sampai pimpinan KPK defenitif terpilih.
Selama masa transisi ini, kembali SBY membuktikan dominasinya di KPK dengan penunjukan Taufikurahman Ruki selaku Plt Ketua KPK 2014-2015. Ruki adalah mantan deputi SBY ketika menjabat Menkopolhukam 2001-2004. Ketika Ruki terpilih pertama kali menjadi Ketua KPK 2002-2006, banyak pihak memastikan peran SBY dalam penempatan Ruki sebagai Ketua KPK itu.
Selalu Plt Ketua KPK, Ruki mendapat tugas khusus dari SBY yakni memastikan agar kasus-kasus korupsi Jokowi dan Ahok tidak menjadi batu sandungan di masa mendatang terutama selama Ruki dan Agus Rahardjo menjadi Ketua KPK.
Misi lain yang tak kalah penting yang diemban Agus Rahardjo adalah pengamanan kasus korupsi Bank Century, Hambalang, Kernel Oil, Garuda, EKTP dan lain-lain yang potensial menyeret keterlibatan kekuarga Cikeas sebagai tersangka.
KPK Sebagai Instrumentum Est Plurimum
Tanpa disadari publik, KPK periode 2015-2019 kembali memainkan peran sebagai alat paling efektif (instrumentum est plurimum) dalam mewujudkan kemenangan pemilu.
Jika pada periode 2010-2014 KPK diarahkan menjadi alat penghancur citra Islam dan politisi Islam melalui kriminalisasi politisi-politisi partai Islam atau politisi muslim sebagai tersangka korupsi, dalam rangka memuluskan peluang Jokowi, kandidat sekuler menjadi pemenang pilpres 2014, namun pada periode 2015-2019 KPK gagal memainkan manuver yang sama karena terjadinya penolakan atas tambahan penyidik baru KPK dari Polri.
Penolakan internal KPK yang digalang oleh Novel Baswedan selaku Ketua Wadah Pegawai KPK, diduga menjadi penyebab terjadinya percobaan pembunuhan terhadap Novel Baswedan, pada satu subuh tak lama setelah penolakan terhadap puluhan penyidik baru dari Polri terjadi.
Meski begitu, KPK 2015-2019 kembali memainkan peran sebagai alat penekan dan penyandera tokoh partai seperti yang pernah dilakukan KPK pada saat menjelang pemilu- pilpres 2014.
KPK sepanjang tahun 2016 – 2018 membidik tokoh-tokoh partai terutama PDIP dah Golkar sebagai tersangka korupsi atau target OTT KPK. Dampaiknya luar biasa, PDIP dan Golkar menjadi bulan-bulanan serangan opini publik sebagai partai terkorup.
KPK kembali mendayagunakan kasus korupsi BLBI sebagai senjata andalan untuk menekan Ketum PDIP Megawati yang diancam bakal jadi tersangka jika tidak koperatif akomodatif dengan keinginan SBY dan LBP.
Megawati Ketum PDIP masih bisa bernafas lega karena akhirnya tidak dijadikan tersangka oleh KPK sebagaimana Setya Novanto Ketum Partai Golkar.
Sampai di sini pasti muncul pertanyaan publik: “Bagaimana mungkin PDIP dan Golkar yang merupakan partai pemenang pemilu dan penentu komposisi pimpinan KPK 2015-2019, dapat menjadi korban serangan dan jeratan kasus korupsi dari KPK?”
PDIP – Golkar Korban Manuver Hendropriono – Luhut B Panjaitan
Mustahil PDIP – Golkar tidak menyiapkan proksinya sebagai pimpinan KPK 2015-2019. Jawaban atas serangan KPK terhadap PDIP-Golkar sepanjang 2016-2018 ada pada Hendropriono (HP) dan Luhut B Panjaitan (LBP).
Kedekatan HP dengan Megawati dan PDIP sudah bukan rahasia lagi. HP selaku salah satu tokoh yang membidani kelahiran PDIP dan sebagai tokoh yang diamanatkan langsung oleh LB Murdani untuk menjaga Megawati, menjadikan HP sebagai penasihat utama dan kepercayaan Megawati/PDIP. Kandidat pimpinan KPK 2015-2019 proksi PDIP adalah Johan Budi. Namun, tak lama setelah terpilih di Komisi III DPR, Johan Budi harus digeser diganti Laode M Syarif atas permintaan Wapres JK. Dengan tersingkirnya Johan Budi, praktis PDIP tidak memiliki proksi di Pimpinan KPK. Kondisi ini yang menyebabkan PDIP sempat menjadi bulan-bulanan KPK sepanjang 2016-2017 dan pada awal 2018.
Demkian juga Golkar yang mempercayai segala urusan terkait proksi Golkar di KPK kepada LBP. Ternyata setelah Basaria dan Saut duduk sebagai Pimpinan KPK 2015-2019, Partai Golkar malah dijadikan target penyidikan kasus korupsi oleh KPK. Tentu saja, dengan secara selektif menentukan politisi Golkar mana yang dijerat oleh KPK. Mereka, politisi Golkar yang menjadi target jeratan kasus korupsi KPK semuanya dari faksi anti LBP.
Upaya PDIP-Golkar melakukan tindakan balasan atas serangan KPK diwujudkan melalui Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK. Pansus DPR ini hampir saja berhasil menempatkan KPK sebagai objek audit investigasi dan evaluasi DPR yang berujung pada perombakan total unsur pimpinan KPK dan reorientasi penyidikan KPK. Pansus DPR Hak Angket terhadap KPK yang begitu intens digelar DPR sepanjang 2017, mendadak hancur lebur buyar akibat manuver SBY yang menggalang penggembosan Pansus Hak Angket dan menekan KPK agar segera menetapkan Setnov sebagai tersangka korupsi.
Dengan manuver ini, KPK kembali ‘powerful’ dan sepenuhnya berada dalam genggaman SBY-LBP.
Pasca buyarnya Pansus DPR Hak Angket KPK, serangan terhadap Megawati melalui penyidikan kasus korupsi BLBI kembali dilancarkan KPK. Tujuan penyidikan KPK ini sama seperti pada 2013-2014 yakni sekedar sebagai alat penekan bagi Megawati agar menyetujui PDIP sebagai partai pengusung Jokowi di Pilpres 2019.
Penolakan Megawati atas keinginan SBY – LBP yang disampaikan melalui penyidikan kasus korupsi BLBI oleh KPK ini, sangat menjengkelkan SBY. KPK pun diperintahkan SBY untuk menjerat Syarifuddin Temenggung mantan Kepala BPPN sebagai tersangka. Tidak cukup hanya itu, ancaman juga disampaikan melalui sinyal bahwa Dorodjatun Kuntjorodjakti dan Budiono (mantan Menko Ekonomi dan Menkeu di Kabinet Megawati) bakal menyusul jadi tersangka jika Megawati masih menolak menetapkan Jokowi sebagai capres yang diusung PDIP pada pilpres 2019.
Rekonsiliasi PDIP dan SBY – LBP
Luput dari perhatian publik bahwa rezim Jokowi sesungguhnya adalah rezim SBY jilid III. SBY selaku tokoh paling berjasa menjadikan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta 2012 dan Presiden RI 2014, menempatkan dirinya sebagai pengendali utama dan pemegang saham terbesar di pemerintahan Jokowi.
Kehebatan SBY dalam mengecoh rakyat, lawan dan kawan politiknya, menyebabkan pada awalnya hanya segelintir pihak yang paham bahwa rezim Jokowi adalah kelanjutan rezim SBY.
Pada tahun pertama pemerintahan Jokowi, memang eksistensi SBY selaku penguasa sebenarnya di balik Jokowi tidak terlihat jelas. Namun, setelah Presiden Jokowi melakukan resufle kabinet pada 2015, barulah banyak pihak terbuka matanya.
Tim Ekonomi Pemerintah Jokowi adalah Tim Ekonomi SBY: Menko Ekonomi, Menkeu, Gubernur BI. Bahkan Ketua OJK Wimboh Santoso yang mantan Direktur Riset BI adalah kader SBY yang mengamankan kasus Bank Century.
Lebih jauh lagi publik menilai Jenderal Moeldoko Kepala Staf Presiden yang mantan Panglima era SBY atau Menlu Retno mantan Dubes Belanda dan anggota Tim Munir semua adalah kader SBY. Juga Menkes Nila Anfasa Moeloek adalah titipan Konglomerat Sampurna yang disodorkan SBY ke Jokowi, Mentan Amran Sulaiman adalah titipan Konglomerat Antoni Salim via SBY.
Belum lagi Sofyan Djalil, mantan Menteri BUMN dan Deputi Wapres Budiono yang adalah tangan kanan SBY pada sabotase proyek EKTP. Demkian juga Letjen Agus Widjojo Gubernur Lemhanas mantan suksesor SBY ketika lengser dari Kaster TNI karena diangkat jadi Mentamben oleh Presiden Gus Dur 2001.
Masih banyak pejabat tinggi di pemerintahan Jokowi yang sejatinya adalah kader SBY (baca: bukan kader PD), seperti Kepala SKK Migas Amin Sunaryadi, Kepala BPH Migas Fansurullah Asa, Kepala BNPT Suhadi Alius, Kepala BNPB Doni Munardo dan seterusnya. Tentu saja Ketua KPK Agus Rahardjo dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang sebelumnya adalah Sekretaris Militer Presiden SBY.
Mayoritas pengamat kepolisian menilai, siapapun sosok Komandan Densus 88 Anti Teroris adalah pilihan SBY. Jika demikian, Kapolri Tito Karnavian yang mantan Dan Densus 88 sebenarnya adalah kader SBY.
Masih panjang daftar untuk diuraikan sebagai gambaran bahwa rezim Jokowi adalah kelanjutan rezim SBY. Fakta ini tentu cukup menyakitkan bagi PDIP yang di mata rakyat seolah-olah punya kuasa dan kendali pada rezim Jokowi. Perihal PDIP hanya menempatkan 4 kader sebagai menteri kabinet Jokowi, menyebabkan dominasi PDIP di pemerintahan Jokowi hanya sebuah imajinasi.
Fakta bahwa KPK menjadikan PDIP sebagai sasaran dan target penyidikan korupsi untuk menekan Megawati-PDIP agar bersedia mengusung Jokowi sebagai capres adalah sangat menyakitkan pada awalnya. Sebagai partai terbesar pemenang pemilu, PDIP kembali terpaksa mencalonkan orang lain bukan kader utama sebagai capres 2019.
Fakta bahwa pasca pengkhianatan HP – LBP yang sengaja menggagalkan penempatan proksi PDIP di jajaran pimpinan KPK 2015-2019 menyebabkan hubungan Budi Gunawan (BG) – LBP memburuk bahkan memanas. Dapat disimpulkan telah terjadi insubordinasi sebagian dari institusi Polri dan BIN terhadap Presiden Jokowi. Setelah hampir dua tahun dihadapkan pada insubordinasi BIN, barulah Presiden Jokowi atas usul SBY-LBP-HP membentuk Badan Sandi dan Siber Nasional (BSSN) sebagai substitusi BIN.
Pertikaian politik antara BG – Mega – PDIP dengan Jokowi – LBP – SBY yang terjadi sejak Desember 2015 baru berakhir pada April 2018. Rekonsiliasi itu diawali dengan kunjungan khusus AHY ke Jokowi di Istana Negara. Selanjutnya, Presiden Jokowi menerbitkan PERPPRES tentang BPIP di mana Megawati selaku Ketuanya.
Pada April 2018 dicapai kesepakatan bahwa PDIP bersedia mengusung Jokowi Maruf pada Pilpres 2019, dengan syarat dibukanya peluang BG untuk menjadi wapres pengganti Maruf Amin paling lama setahun setelah pelantikan. Guna menunjukan komitmen atas kesepakatan ini, Presiden Jokowi menerbitna PEPPRES Nomor 18 Tahun 2018 tentang Dokter dan Rumah Sakit Kepresidenan.
Rekonsiliasi PDIP dengan SBY – LBP menimbulkan optimisme Jokowi – Maruf pasti akan memenangkan pilpres 2019. Optimisme ini didasarkan pada kekuatan koalisi PDIP-Golkar-Nasdem-PKB-Hanura-PPP dan tentu saja Partai Demokrat sebagai koalisi yang menyamar ke kubu lawan (Gerindra, PAN dan PKS).
Melalui rekonsiliasi dengan PDIP ini, rencana SBY-LBP-HP memenangkan Jokowi pada pilpres 2019 dengan segala cara akan semakin mudah terwujud.
Jokowi Menang Pilpres 2019 adalah Harga Mati
Membahas pencurangan pemilu (pilpres) 2019 tidak bisa tidak harus melihat kembali ke belakang: Pilpres 2014 dan Pilpres 2009.
Pilpres 2014 dan 2009 adalah bukti terjadinya pencurangan pada pemilu namun tidak diselesaikan secara tuntas karena tidak berfungsinya atau terkooptasinya lembaga-lembaga negara, seperti KPU dan MK.
Pencurangan masif, sistematis dan terstruktur pada pemilu di era reformasi pertama kali terjadi pada pemilu 2009. Sedikitnya terdapat 26 juta pemilih siluman pada DPT 2009 yang memungkinkan SBY – Budiono menang dalam satu putaran dan suara Partai Demokrat melonjak lebih 300%.
Pada Pilpres 2009 KPU menetapkan DPT Pilpres 2009 sebanyak 176 juta pemilih dan sekitar 2 juta pemilih non DPT. Padahal penetapan DPT Pilpres 2004 sebesar 150 juta pemilih sudah diprotes berbagai kalangan karena dinilai “overstated”.
Pada pilpres 2014 KPU menetapkan DPT Pilpres 2014 sebesar 190 juta pemilih dengan sekitar 2 juta pemilih non DPT. KPU tidak mampu menyusun DPT 2014 secara akurat karena program SIN melalui Proyek EKTP yang diharapkan selesai pada tahun 2012 ternyata kacau dan carut marut. SBY dituding sebagai pihak yang mensabotase program pemerintahannya sendiri yakni EKTP untuk meenutupi kecurangannya di pilpres 2009 dan memudahkannya mencurangi pilpres 2014.
Pada Pemilu – Pilpres 2019 yang dilakukan serentak pada 17 April 2019, ditemukan kecurangan masif, sistematis dan terstruktur yang meliputi penyelenggaran pemilu dan pemerintahan.
Khusus mengenai kecurangan pemilu yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi, setidak-tidaknya, kecurangan itu meliputi: UU Pemilu, PERPPU KPK, PERPPU ORMAS, Mobilisasi ASN-BUMN, Pencairan Dana Desa, Kenaikan Tunjangan Babinsa 771%, Pemberian Gaji ASN Ke 13-14, Penambahan 13 ribu desa baru, Penempatan Militer Aktif pada jabatan sipil, pembentukan opini publik melalui mobilisasi media mainstream, represifisme dan kriminalisasi unsur anti rezim Jokowi, mobilisasi TNI-Polri dan Birokrasi untuk pemenangan pemilu-pilpres kubu Jokowi dan seterusnya.
Sementara itu, KPK yang dikendalikan SBY-LBP terus bermanuver menyandera elit partai pendukung dan kepala daerah agar tetap membantu pemenangan Jokowi secara all out.
Bagaimana dengan KPU – Bawaslu – Mahkamah Konstitusi? Ketiga lembaga ini sudah lebih menyerupai timses capres Jokowi ketimbang sebagai lembaga negara yang independen, netral dan tidak partisan.
Fakta Pencurangan dengan Manipulasi Rekap Suara Pilpres
Mungkin hanya kata ‘brutal’ yang dapat menggambarkan buruknya kualitas penyelenggaraan pemilu tahun 2019. Melihat begitu banyak kecurangan terjadi di hampir seluruh dapil – propinsi, dapat disimpulkan sesungguhnya tidak ada penyelenggaraan pemilu di Indonesia, yang ada hanya manipulasi suara pemilu.
Kebrutalan pemilu Indonesia diawali oleh keputusan KPU yang menetapkan 193 juta pemilih pada pemilu 2019, di tengah begitu banyaknya bukti bahwa sekitar 31,9 juta pemilih yang tercantum dalam DPS adalah pemilih ganda, fiktif, ilegal.
KPU maju terus dengan 193 juta pemilih pada DPT. Lalu, terhadap uji materi beberapa pasal UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, Mahkamah Konstitusi memutus siapa saja yang belum terdaftar di DPT tetapi memiliki KTP atau surat keterangan sedang mengurus kepemilikan KTP diperkenankan untuk memilih. Belum cukup sampai di situ, MK dan KPU memperpanjang pemilih pindahan sampai sehari menjelang pemberian hak suara.
Beberapa putusan MK dan Peraturan KPU akhirnya memperkosa kejujuran dan kesahihan pemilu 2019. Terbukti kemudian, jumlah pemilih non DPT membengkak ribuan hingga ratusan ribu di sejumlah kabupaten – kota, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Bali, Maluku, Sulut dan NTT.
Kebrutalan pemilu 2019 semakin sempurna dengan sikap KPU mempertahankan kegilaan terkait DPT Propinsi Papua yang kembali ditetapkan jauh lebih besar daripada jumlah penduduknya. Kegilaan DPT Papua sejak 2009, makin parah pada 2014 dan mencapai puncaknya pada 2019. Penduduk Papua pada tahun 2019 hanya 3,3 juta jiwa namun memiliki pemilih sebanyak 3,5 juta orang tercantum pada DPT Papua. Ini belum termasuk pemilih non DPT yang jumlahnya juga ugal-ugalan.
Bangsa Indonesia berada di simpang jalan. Tetap ngotot mempertontonkan ketololan, melalui pencurangan pemilu yang brutal.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur jumlah pemilih DPT dan non DPT hampir mencapai 90% dari jumlah penduduknya. Pelaksaan pemilu serentak, memudahkan bagi siapa saja menemukan pencurangan pemilu khususnya pilpres di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, Sulawesi Utara dan seterusnya. Khusus Papua, kegilaan pemilu di Papua membuatnya tak layak untuk dibahas. Memalukan !
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur ditemukan total lebih 10 juta suara tidak sah pada rekap suara hasil pileg DPD dan DPRD. Namun, angka 10 juta lebih suara tidak sah itu, mendadak menyusut drastis pada rekap suara hasil pilpres. 10 juta suara tidak sah pada rekap pileg itu bertransformasi menjadi suara sah di rekap pilpres sebagai suara tambahan untuk capres Jokowi.
Kedunguan, amoral, kebrutalan secara vulgar dipertontonkan oleh KPU selaku penyelenggara pemilu dan pemerintah sebagai penanggungjawab pemilu.
Dan seperti diduga sebelumnya, mantan Presiden SBY diam seribu bahasa menyaksikan super manipulasi pemilu, bahkan sebaliknya mendesak agar rakyat menerima kegilaan ini sebagai hasil pemilu yang sudah sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.